Sejarah Berdirinya Keraton Kasunanan
Surakarta
Penembahan Senopati yang waktu mudanya
bernama Sutowijoyo memerintah di Mataram dari tahun 1585 sampai dengan tahun
1601. Pada tahun 1601 Raden Mas Jolang yang bergelar Susuhunan Hadi prabu
Hanyakrawati menggantikan sebagai raja Mataram sampai dengan tahun 1913.
setelah Susuhunan Hadi Prabu Hanyakrawati meninggal beliau digantikan oleh
Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, yang memerintah mulai tahun 1613 sampai
tahun 1945. Pada saat pemerintahan Sultan Agung, keraton Mataram berada dalam
puncak kejayaan. Karena banyak raja-raja yang ditaklukkan, yaitu raja-raja
pesisir Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kalimantan Barat, Madura, Surabaya
dan Cirebon.
Sultan Agung merupakan figur raja yang
taat kepada agama Uslam dan tidak senang pada Belanda yang berada di tanah
Jawa. Sultan Agung mempunyai cita-cita untuk menguasai seluruh pulau Jawa.
Namun cita-cita Sultan Agung untuk menguasai seluruh pulau Jawa gagal. Karena
pada waktu itu terdapat tiga kekuatan politik yaitu Mataram, Banten dan VOC di
Batavia.
Rasa tidak senang dari Sultan Agung
pada Belanda tersebut dapat kita lihat pada usaha Sultan Agung yang dua kali
menyerang VOC di Batavia, sebagai pusat pemerintahan Belanda di Jawa. Tetapi
usaha tersebut gagal karena terjangkitnya wabah penyakit dan kurangnya bahan
pangan karena lumbung padi dibakar oleh Belanda. Sebagai rasa hormat dari
pemerintah Indonesia yang sekarang telah merdeka maka Sultan Agung mendapatkan
penghargaan sebagai salah satu Pahlawan Nasional yang berusaha mengusir penjajah
dari bumi Indonesia.
Pada saat pemerintahan Sultan Agung
Hanyakrakusuma, beliau banyak menjalin hubungan yang bersifat ekonomis dan
politik dengan daerah-daerah lain. Bukti kerjasama
tersebut dalam bidang ekonomi adalah Palembang dan Jambi menggantungkan
kebutuhan berasnya dari Mataram. Karena rakyat di Palembang dan Jambi lebih
suka menanam lada daripada padi. Juga pada tahun 1641 Mataram menjalin hubungan
dengan bangsa Portugis di Malaka, Mataram mengirim beras ke Portugis di Malaka
sedang bangsa Portugis di Malaka menyediakan keperluan sandang dan
keperluan-keperluan perang Mataram. Sedangkan bukti kerjasama dalam bidang
politik yaitu memberikan perlindungan kepada Palembang dan Jambi agar terhindar
dari Expansi Aceh dan Banten. Yang kemudian perlindungan itu berakhir pada
tahun 1642, pada saat armada Mataram dihancurkan oleh armada VOC di dekat
Palembang. Bahkan sultan Agung Hanyakrakususma juga menjalin hubungan dengan
pusat agama Islam di Mekkah, berkat hubungan tersebut beliau memperoleh gelar
Sultan (Soewarso, 1985 :45).
Di zaman ini juga
kebudayaan mengalami perkembangan yang pesat. Hasil kebudayaan Mataram
menunjukkan adanya perpaduan antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Hindu
dan Budha pada saat itu mempunyai pengaruh yang sangat besar dan kuat terhadap
kebudayaan asli Jawa.
Pada tahun 1645
Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma meninggal kemudian beliau digantikan oleh
Susuhunan Amangkurat I atau Amangkurat Agung yang memerintahkan mulai tahun
1645. berbeda dengan Ayahnya Susuhunan Amangkurat I bukan sebagai seorang raja
yang bijaksana dan berwibawa, tetapi seorang raja yang bertangan besi dan
bersahabat dengan VOC/Belanda, sehingga banyak ulama dan para bangsawan yang
tidak senang kepada Amangkurat I. Sikap Amangkurat dalam menjalankan pemerintahan
dengan tangan besi dan berusaha menggenggam seluruh kekuasaan tersebut terbukti
pada masa itu para ulama dan sebagian rakyat dikejar-kejar, bahkan ribuan yang
dihukum mati, karena mereka menentang politik Amangkurat I yang menjalin
kerjasama dengan VOC. Para ulama yang berpengaruh besar terhadap rakyat,
dianggap menyaingi kedudukan dan kekuasaannya.
Cara Kejam
Amangkurat I untuk mematahkan kekuasaan para ulama yang selalu menentang
Belanda ternyata tidak berhasil. Para ulama terus menyusun kekuasaan, dibawah
Sunan Giri, para ulama akhirnya bangkit sentak untuk mematahkan kekuasaan
Amangkurat I. Sikap Amangkurat I terhadap raja-raja taklukan sangat kerja.
Mereka yang dianggap membahayakan Mataram, selalu dipecat dan digantikan dengan
bangsawan Mataram yang telah jelas-jelas taat dan setia kepadaanya. Bahkan raja
raklukan tersebut banyak yang dibunuh. Oleh sebab itu lambat laun timbul rasa
tidak puas terhadap pemerintahan Amangkurat I. Para bangsawan Mataram yang
tidak puas terhadap pemerintahan Amangkurat I tersebut justru dipimpin oleh
Adipati Anom (Putra Mahkota) yang bersekutu dengan Trunojoyo. Akhirnya terjadi
pemberontakan terhadap Mataram yang dipimpin oleh Trunojoyo yang bersekutu
dengan Adipati Anom dan para bangsawan Mataram serta para ulama.
Mataram dapat
direbut oleh Trunojoyo, sedang Amangkurat I beserta pengikutnya meninggalkan
Mataram hendak minta bantuan kepada VOC di Batavia. Amangkurat I menunjuk
Adipati Anom untuk menyerang Trunojoyo, tetapi Adipati Anom tidak bersedia,
karena dia bersekutu dengan Trunojoyo. Dengan berbekal tumbal Kyai Pleret milik
Amangkurat I. serangan Pangeran Puger terhadap Trunojoyo berhasil melumpuhkan
kekuatan pasukan Trunojoyo. Perjalnan Amangkurat I ke Batavia sampai di Tegal
Arum. Di tempat tersebut Amangkurat I meninggal. Setelah Amangkurat I
meninggal, Adipati Anom menjadi bingung karena tumbak Kyai Pleret yang menjadi
simbol kerajaan Mataram berada di tangan Pangeran Puger.
Adipati Anom tidak
meneruskan perjalanan ke Batavia, melainkan meminta bantuan kepada VOC di
Jepara. Adipati Anom bersedia meluluskan apa saja yang diminta VOC asakan dia
dapat menjadi raja Mataram. Berkat Bantuan VOC Trunojoyo dapat dikalahkan dan
Adipati Anon menggantikan Amangkurat I menjadi raja Mataram pada tahun 1677
bergelar Amangkurat II. Dengan bertahtanya Amangkurat II berarti kekuasaan
Mataram telah mulai dirongrong oleh Belanda.
Pada saat
pemerintahan Sunan Amangkurat II, karena keraton Mataram sudah rusak akibat
pemberontakan Trunojoyo, maka Sunan Amangkurat II melanjutkan pemerintahan di
Kartasura pada tahun 1703. setelah beliau wafat digantikan oleh putranya yang
bergelar Amangkurat III atau Amangkurat Mas. Sebelum Amangkurat II meninggal
beliau berpesan kepada Amangkurat III agar berhati-hati terhadap pamannya yaitu
Pangeran Puger. Pangeran Puger merasa jengkel karena dialah sebenarnya yang
berhak menjadi raja. Untuk menghilangkan kejengkelan hati Pangeran Puger, maka
Amangkurat III dikawinkan dengan anak perempuan Pangeran Puger.
Amangkurat III
ternyata bersifat suka main perempuan, sehingga sering terjadu pertengkaran
dengan istrinya, yang berakhir dengan perceraian. Anak Pangeran Puger yang
menjadi istrinya dikembalikan kepada Pangeran Puger yang sudah barang tentu
membuat sakit Pangeran Puger. Sebagai raja, Amangkurat III merasakan betapa
berat dan kuatnya pengaruh VOC terhadap negaranya. Oleh sebab itu, Amangkurat
III hendak melepaskan Mataram dari belenggu VOC terhadap negaranya. Para bangsawan yang
nyata-nyata memihak kepadas VOC segera bertindak. Banyak diantaranya yang dipecat.
Sikap Amangkurat III tersebut banyak mendapat tantangan dari segolongan
bangsawan di lingkungannya. Situasi politik
itu sangat menggembirakan Pangeran Puger (adik Amangkurat II) yang sejak semula
ingin menjadi raja.
Dengan segolongan
kaum bangsawan yang tidak senang pada Amangkurat III, Pangeran Puger mengadakan
perbutan kekuasaan yang akhirnya dapat digagalkan Pangeran Puger lari ke
Semarang meminta bantuan kepada VOC. Dengan senang hati VOC menerima Pangeran
Puger. VOC bersedia membantu Pangeran Puger untuk merebut tahta Mataram, karena
Amangkurat III menentang VOC, setelah Pangeran Puger menandatangani perjanjian
untuk memberi hadian kepada VOC, VOC mengangkat Pangeran Puger sebagai Sunan di
Kartasura dengan gelar Sunan Paku Buwono I. Pada tahun 1705 pasukan VOC dan
pengikut-pengikut Pangeran Puger merebut Kertasura. Dengan demikian Sunan
Amangkurat II bertahta hanya 2 tahun dari tahun 1703 sampai dengan tahun 1705,
sedangkan Sunan Paku Buwono I, bertahta di Kartasura sejal tahun 1705 sampai
dengan 1719. Sebagai balas jasa VOC yang telah menduduki dirinya sebagai raja
di Kartasura, Paku Buwono I menyerahkan daerah Priangan, Cirebon dan Madura
Timur kepada VOC. Disamping
itu setiap tahunnnya Kartasura bersedia mengirimkan sejumlah beras ke Batavia.
Sejak saat itu pengaruh kekuasaan VOC di Kartasura semakin besar.
Setelah Paku Buwono meninggal, beliau
digantikan oleh Susuhunan Prabu Amangkurat IV atau Sunan Amangkurat Jawi atau
Sunan Prabu. Amangkurat IV bertahta di Kartasura dari tahun 1917 sampai dengan tahun
1727. kemudian beliau digantikan oleh Sunan Buwono II, mulai tahun 1927. pada
tahun 1742 orang-orang Cina pelarian dari Batavia bekerja sama dengan Mas
Garendi. Mas Garendi adalah Cucu Sunan Mas. Mas Garendi bertahta
di Katasura dengan gelar Amangkurat V, beliau bersikap melawan Belanda. Sedang
Sunan Paku Buwono II meminta bantuan VOC. Setelah beliau menadatangani tentang
imbalan yang akan diberikan VOC, kemudian VOC menyerang Mas Garendi untuk
merebut Kartasura. Setelah kekuasaannya hancur, Mas Garendi menyerah kepada
VOC. Selanjutnya beliau dibuang ke Srilangka. Berkat bantuan VOC, Sunan Paku
Buwono II bertahta kembali di Kartasura. Seperti halnya Mataram, Keraton
Kartasura rusak karena perbuatan Raden Mas Garendi. Menurut kepercayaan kuno di
Jawa, bila keraton sebagai pusat kejayaan dan kebebasan sebuah kerajaan telah
diduduki atau dirusak oleh tangan tangan kotor, tiba saat untuk membangun
sebuah istana yang baru (Wibisono, 1980 :2).
Di Kartasura Sunan
Paku Buwono II mengemukakan keinginannya untuk memindahkan Keraton Kartasura
yang sudah rusak. Pada saat itu Baginda Sunan Pakubowono II sedang diliputi
kesedihan karena baru saja kedatangan utusan VOC bernama Hogendrop yang
membicarakan pelaksanaan beberapa permintaan VOC sangat merugikan Keraton Kartasura,
sebagai imbalan kepada VOC yang telah membantu Paku Buwono II merebut tahta
kembali Kartasura.
Dalam perjanjian
itu antara lain disebutkan bahwa seluruh pantai utara Pulau Jawa dan seluruh
pulau Madura diserahkan kepada VOC. Penyerahan wajib yang berupa hasil bumi
diperbesar jumlahnya. Patih dan Bupati hanya dapat ditetapkan oleh Sunan
bersama-sama dengan VOC. Baginda lalu menyerahkan dan memberikan persetujuan
kepada Van Hogendrop untuk menghubungi pepatih Raden Tumenggung Pringgolo dan
Sindurejo. Mereka meninjau sendiri daerah sekita Kartasura. Mereka melepaskan
lebah di bawah sebuah pohon rindang di desa Sala, Mayor Van Hogendrop
mengusulkan Sala sebagai pusat pemerintahan Kartasura. Dengan alasan apabila
raja ingin mendatangkan kayu jati dari hutan selatan akan mudah karena tidak
kekurangan orang juga tidak kekurangan beras yang dapat didatangkan dari
Ponorogo. Tetapi kedua Patih menolak dengan alasan Sala daerahnya rendah, kalau
hujan akan terendam air. Tetapi dilihat letaknya Sala berada di tepi sebuah
sungai besar, strategis sekali dan mudah didatangi dari pantai bila keadaan
memaksa. Akhirnya Keraton Kartasura Hadiningrat dipindahkan ke Surakarta
Hadiningrat pada tahun 1748. Pada tahun 1749 Sunan Paku Buwono II sakit dan
kemungkinan sehat kembali sangat kecil. Keraton Surakarta merupakan kelanjutan
dari Keraton Mataram yang pada tahun 1677 padas hakekatnya telah runtuh akibat
pemberontakan Trunojoyo. Berkat bantuan VOC Keraton yang telah runtuh itu
dihidupkan kembali dengan aneka ragam perjanjian. Sedangkan raja-raja yang
memerintah selanjutnya tidak lebih hanyalah sebuah boneka yang dikendalikan
oleh Belanda. Paku Buwono II meninggal pada tanggal 20 Desember 1749 dan
digantikan oleh Sunan Paku Buwono III yang memerintah dari tahun 1949 sampai dengan
tahun 1788. penyerahan Keraton Surakarta kepadas VOC dan pengangkatan Paku
Buwono III sebagai sunan tidak disetujui oleh Pangeran Mangkubumi. Karena
bagian tanah bengkok yang milik Pangeran Mangkubumi dikurangi oleh Belanda.
Pada saat yang
bersamaan di Yogyakarta Pangeran Mangkubumi dinobatkan oleh
pengikut-pengikutnya sebagai Sultan Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono. VOC
tidak mau mengakuinya. Oleh karena itu berlawanan menentang Belanda diteruskan.
Sejak saat itu Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan kelanjutan dari Mataram
pecah menjadi dua. Yaitu Yogyakarta dengan Hamengku Buwono yang melawan VOC dan
di Surakarta dengan Hamengku Buwono III yang menjadi antek VOC. Setelah Paku
Buwono III meninggal, beliau digantikan oleh Susuhunan Paku Buwono IV dari
tahun 1788 sampai dengan tahun 1820. kemudian Susuhunan Paku Buwono V
menggantikannya dari tahun 1820 sampai dengan tahun 1823. selanjutnya Susuhunan
Paku Buwono VI berusaha untuk melawan sehingga beliau dibuang oleh Belanda ke
Ambon. Sebagai penghargaan dan rasa hormat kepada Sunan Paku Buwono VI maka
pemerintah Indonesia memberi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.
Pengganti Sunan
Paku Buwono adalah Susuhunan Paku Buwono VII, salah seorang putra dari Sunan
Paku Buwono IV, yang bertahta dari tahun 1830 sampai dengan tahun 1858. sebagai
gantinya adalah salah seorang lagi putra dar Sunan Paku Buwono IV yang bergelar
paku Buwono VIII, bertahta dari tahun 1858 sampai dengan tahun 1861. Pada tahun
1861 sampai dengan 1893 pemerintah dipegang oleh Susuhunan Paku Buwono IX.
Setelah beliau meninggal digantikan oleh Paku Buwono X yang bergelar Sampeyan
Dalem Ingkang Minulya Saha Ingkang Wicaksono Kanjeng Susuhunan Paku Buwono
Senopati Ing Ngalolo Ngabdulrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang
Kaping X (Volks Almanah Djawi, 1937 : 25).
Pada saat pemerintahan Sunan Paku Buwono X, beliau menciptakan lambang keraton Kasunanan Surakata. Bentuk lambang yang diciptakan oleh Susuhunan Paku Buwono X tersebut adalah sebagai berikut :
Pada saat pemerintahan Sunan Paku Buwono X, beliau menciptakan lambang keraton Kasunanan Surakata. Bentuk lambang yang diciptakan oleh Susuhunan Paku Buwono X tersebut adalah sebagai berikut :
- Gambar Matahari di sebelah kanan – melambangkan
putra dari Paku Buwono I yang bernama R.M. Gusti Suryo
- Gambar Bulan di sebelah kiri – melambangkan putra
dari Paku Buwono I yang bernama R.M. Sasongko
- Gambar di sebelah atas – melambangkan putra dari
Paku Buwono I yang bernama R.M. Gusti Sudomo
- Gambar Bola dunia sebelah bawah yang terdapat paku
pada kutup atas (GPH, Broto, 1980 : 18) – melambangkan raja Kasunanan yang
bergelar Paku Buwono.
Dari keempat lambang tersebut tidak keterangan tentang
keistimewaan mereka, sehingga mereka dipakai sebagai lambang. Keempat benda
tersebut dapat dalam sebuah perisai yang berbentuk bulat telur yang posisinya
tegak. Hal tersebut melambangkan terwujudnya kemanunggalan yang kokoh dan kuat
yang terlindung dari perisai. Pada bagian atas perisai tersebut terdapat
mahkota raja, di bawah pengayoman Sri Susuhunan. Di seputar perisai di lingkari
oleh untaian kapas dan sewuli (Sebutir padi) hal tersebut melambangkan agar
rakyatnya hidup berkecukupan, adil makmur baik sandang maupun pangan.
Lambang Keraton
Kasunanan Surakarta terdapat persamaan dengan lambang-lambang negara kita yaitu
Garuda. Sunan Paku Buwono X bertahta dari tahun 1893 sampai dengan 1939.
kemudian pada tahun 1939 sampai dengan tahun 1945 beliau meninggal digantikan
oleh Susuhunan Paku Buwono XII pada tahun 1945 sampai sekarang. Raja-raja
kasunanan Surakarta sangat memperhatikan kebudayaan Jawa hingga saat ini
walaupun kedudukan raja tidak seperti dulu, tetapi adat kebudayaan Jawa tetap
dijaga dan dilestarikan. Hal tersebut dapat kita lihat pada setiap kirap pusaka
I sura. Grebeg Mauludan dan upacar perkawinan di Keraton Kasunanan Surakarta.
Fungsi Keraton Kasunanan
Surakarta
Pada waktu lampau ketika negara Sri Wijaya di Sumatra dan Majapahit di Jawa berjaya, seolah-olah merupakan mercusuar yang menjadi pandu seluruh negara-negara Asia Tenggara. Keraton merupakan pusat masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Keraton merupakan pusat kegiatan politik, pusat kegiatan keagamaan dan kebudayaan (Santoso, 1990:3).
Pada waktu lampau ketika negara Sri Wijaya di Sumatra dan Majapahit di Jawa berjaya, seolah-olah merupakan mercusuar yang menjadi pandu seluruh negara-negara Asia Tenggara. Keraton merupakan pusat masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Keraton merupakan pusat kegiatan politik, pusat kegiatan keagamaan dan kebudayaan (Santoso, 1990:3).
Bukti keraton
sebagai kegiatan politik, telah tampak dengan jelas bahwa raja yang berkuasa
dan pemerintah merupakan tokoh sentral dari segala kegiatan politik. Sehingga
timbul kepercayaan bahwa raja adalah dewa yang menjelma di dunia. Sedangkan
Keraton sebagai pusat kegiatan keagamaan, hal ini jelas terlihat pada segala
kegiatan upacara keagamaan yang selalu dipusatkan di Keraton, seperti upacara
Grebeg Mauludan dan Upacara sesaji menurut agama Hindu pada waktu itu. Keraton
berfungsi sebagai pusat kebudayaan. Sebagian besar sumber dan pendorong timbulnya
kebudayaan berasal dari Kerton, bahkan pada masa itu raja menjadi pelindung
dari para hali-ahli kebudayaan yang hidup pada zamannya (Santoso 1990 :4)
Dari berbagai
fungsi dan kedudukan Keraton pada masa lampau sebenarnya tidak lepas dari
fungsi dan kebudayaan raja yang berhak menentukan segala sesuatu hal yang
dikehendakinya. Fungsi keraton dalam masa kemerdekaan sekarang ini dalam buku
DR. Soewito Santosa 1990 :5 yang berjudul Sultan Abdul Kamit Hurucakra Kalifah
rasullah di Jawa berpendapat bahwa :”Kebijaksanaan Sri Susuhan PB XII dalam
memberi ijin kepada kami tersebut diatas memungkinkan kembalinya Keraton kepada
fungsinya yang lama, kami maksudkan fungsinya sebagai konservator adat istiadat
dan penyimpanan benda-benda kebudayaan, termasuk khasanah kasustraan. Yang
dimaksud dengan memberi ijin kepada kami tersebut diatas adalah memberi ijin
dari Sultan PB XII kepada DR. Soewito Santoso dalam mempergunakan buku-buku
yang terdapat di Sonopustoko, sebagai sumber penulisan bukunya yang berjudul
Sultan Abdul Kamit Herucakra Kalifah Rasulullah di Jawa. Fungsi Keraton pada
masa sekarang adalah sebagai tempat penyimpanan benda-benda kebudayaan, yang
dapat mendatangkan para wisatawan melihat secara langsung tentang peninggalan
benda-benda kebudayaan pada waktu itu.
Pada masa sekarang
ini raja yang berkuasa di Keraton Kasunanan Surakarta mempunyai peranan dan
kedudukan dalam lingkup keraton sebagai pengageng Keraton. Juga sebagai warga
negara Indonesia dan tidak berhak untuk menentukan sesuatunya. Karena memegang
kekuasaan pemerintahan Indonesia sekarang ini ada pada Presiden bukan pada
raja. Juga fungsi Keraton sebagai pusat keagamaan. Pada masa sekarang ini tidak
seperti masa lampau. Pusat kegiatan-kegiatan pada masa sekarang bernaung di
bawah Departeman Agama, yang dikepalai oleh Menteri Agama.
Silsilah Raja Kasunanan Surakarta
Keraton Kasunanan Surakarta berdiri pada tahun 1745 hingga sekarang. Sejak tahun 1745 sampai sekarang Keraton Kasunanan Surakarta secara berturut-turut diperintah oleh sebelas raja Kasunanan antara lain :
Keraton Kasunanan Surakarta berdiri pada tahun 1745 hingga sekarang. Sejak tahun 1745 sampai sekarang Keraton Kasunanan Surakarta secara berturut-turut diperintah oleh sebelas raja Kasunanan antara lain :
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB II ( 1745 – 1749)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB III ( 1749 –
1788)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB IV ( 1788 – 1820)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB V ( 1820 – 1823)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB VI ( 1823 – 1830)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB VII ( 1830 –
1858)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB VIII ( 1858 –
1861)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB IX ( 1861 – 1893)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB X ( 1893 – 1939)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB XI ( 1939 – 1945)
- Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB X II ( 1945 –
Sekarang)
Kesimpulan
- Dalam menyelesaikan karya penelitian ini penulis
dapat menarik beberapa kesimpulan, diantaranya :
- Keraton Surakarta berdiri pada tanggal 27 Februari
1945 atas prakarsa Ingkang Sinuhun Paku Buwono II, Keraton Surakarta
merupakan perpindahan Keraton Kartasura yang namanya diganti menjadi
Wanamarta
- Keraton Kasunanan Surakarta telah diperintah oleh
Raja Ingkang Sinuhun Paku Buwono II sampai Paku Buwono XII
- Keraton Kasunanan Surakarta mengalami kejayaan masa
perintah Ingkang Sinahun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono X
- Museum
Keraton Surakarta terdiri dari 9 ruangan yang masing-masing ruangan
rerdapat benda-benda purba kala yang bersejarah
- Keraton Surakarta dapat dikatakan sebagai sumber
devisa negara dan budaya bangsa dari Jawa Tengah
- Demikian informasi yang bisa saya berikan Semoga bermanfaat.
Tag :
Sejarah
0 Komentar untuk "Sejarah Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta"