Selamat Datang di Blog SOKARAJA WETAN

Saridin dan Ki Merogan

Saridin dan Ki Merogan

     Melanjutkan artikel sebelumnya masih tetang sosok saridin, Anda kenal Saridin? Barangkali tidak. Tokoh yang satu ini memang tidak begitu populer dibandingkan pelaku-pelaku sejarah yang lain. Saya sendiri baru mendengar nama ini kemarin, ketika kebetulan bersua dengan orang yang menyimpan sedikit kisah tentangnya. Saya berdiam di Palembang, dan sebelumnya hidup agak lama di Jombang. Sesuatu yang nampak wajar untuk dipakai sebagai alasan ketidaktahuan perihal tokoh dari belahan tengah tanah jawa ini.
Sebagai sosok yang hidup pada masa “kejayaan” Walisongo, nama Saridin kerap kali (bahkan sama sekali) tidak muncul dalam literatur-literatur sejarah. Ya, sebagai sosok yang bahkan Anda bisa menemukan pesarean-nya di seputaran Kajen, Pati, dan yang  terkenal dengan sebutan Syeikh Jangkung itu, sejarah  ihwal Saridin terpacak dengan baik di benak dan mengalir dalam tutur masyarakat. Siapa Saridin? Lantas apa hubungannya dengan Palembang?
   Seperti cerita-cerita tutur pada umumnya, obyektifitas legenda Saridin tidak atau belum bisa dipertanggungjawabkan. Bukan pada Saridin saja, sebetulnya, persoalan yang seperti ini dapat dirujuk. Kisah-kisah walisongo, dengan pelbagai bumbu mistik (keramat) yang ada di dalamnya, sesungguhnya diangkat dari cerita tutur. Ya, barangkali dulu, sejarah memang bukan dirawat dalam serat -meski tidak semuanya tak tertuliskan, tetapi ditularkan dari mulut ke mulut. Kendatipun demikian, tidak ada alasan tepat untuk tidak memercayai legenda. Terutama buat saya, penelitian obyektif terhadap sejarah hanyalah satu dari sekian metodologi untuk mengetahui keabsahan peristiwa di masa lampau (bukankah Al-Qur’an, bukankah Al-Hadits, mulanya juga ditularkan dari mulut ke mulut?). Menganggap legenda sebagai identik dengan tahayul, dan karena itu dianggap tak layak kutip, tidak lebih sebagai bentuk arogansi modernitas. Dan, dus, tak perlu menunggu bual-busa sejarawan, hanya untuk sekedar “menghidupkan” Saridin.
Tetapi ada satu masalah lagi. Bahwa cerita-cerita tutur, terutama yang tidak mendasarkan diri pada sistem klarifikasi riwayat secara ketat, laiknya hadits-hadits Nabi, menyimpan potensi bias yang amat besar. Alhasil, dalam sebuah legenda, acapkali terdapat pelbagai macam versi yang tertuturkan. Contoh yang paling bagus adalah legenda kontroversial perihal Syeikh Siti Jenar. Bagitupun cerita tentang Saridin. Kita bisa menjumpainya dalam banyak versi, umumnya memang terdiri dari beberapa fragmen kehidupan sang tokoh saja. Terkadang kita menemukan sepotong cerita, sementara kepingan yang lain tidak kita ketemukan jluntrungan-nya.
Berikut adalah legenda Saridin yang ditularkan secara tutur kepada saya. Saya tulis dengan agak telanjang, dalam arti tanpa melibatkan referensi-referensi yang saya baca belakangan.
   Saridin murid Sunan Kalijaga. Ia sosok yang sakti mandraguna.
Suatu saat, tidak disebutkan musababnya, pemerintah kolonial menangkap sang Saridin. Ia dijebloskan ke dalam penjara. Barangkali para londho itu memang sudah mafhum, Saridin ini bukan orang biasa. Karenanyalah tugas-tugas Saridin di dalam sel pun dibedakan dari tahanan-tahanan yang lain. Saridin diperintahkan mengambil air dari sebuah sumur. Tetapi uniknya, bukan timba yang diberikan kepada Saridin. Sipir penjara memberinya keranjang. Sungguh aneh, menimba air dengan keranjang. Bagaimana mungkin air sumur bisa terangkat?
Barangkali sipir  penjara hendak menjajal kedigdayaan Saridin. Dan benar saja, tak dinyana sebelumnya, Saridin berhasil mengangkat air sumur dengan keranjang tersebut.
Pada saat yang lain, Saridin menyumbarkan pernyataan, “di mana ada air di situ ada ikan”. Kontan hal itu menumbuhkan semangat para sipir untuk “menaklukkan” Saridin.
“Kalau memang ucapanmu  betul, hai Saridin, tunjukkan buktinya pada kami”.
Pembuktian dilakukan. Maka semua tempat yang diduga mengandung air pun diperiksa. Kamar mandi, selokan, gentong minum, gelas, vas bunga. Semua penuh ikan.
Kini, saatnya siasat Belanda.
“Saridin!!!,” panggil sipir belanda.
“Iya tuan,” jawab Saridin.
“Kamu belum membuktikan semua. Bagaimana dengan buah kelapa itu? Terdapat air di dalamnya, bukan? Apakah ada ikan juga di sana?”.
“Benar tuan, ada ikan di sana”.
“Yang benar saja,” sergah kumpeni. “Bagaimana jika kita bertaruh? Kalau di dalam buah kelapa itu tidak ada ikan, kamu dihukum pancung?”.
“Boleh, tuan, silahkan buktikan sendiri”.
Buah kelapa dijatuhkan dari pohon. Dibelah. Dan, ikan itu melompat. Semua orang terdecak heran, tetapi sipir penjara terlanjur malu dan berang. Saridin diringkus. Ia tetap dikenai hukuman pancung.
Bukan Saridin jika ia tidak mampu melarikan diri. Konon, Saridin mampu melepaskan dirinya dari hukuman mati, dan lantas melarikan diri menuju laut. Dengan berbekal blarak (ranting pohon kelapa), Saridin mengarung laut sampai terdampar di Palembang.
Saridin berdiam untuk beberapa saat di Palembang. Di sini ia bersua dan bergumul dengan masyarakat setempat. Bahkan disebutkan, Saridin sempat menurunkan sebagian “ilmu”-nya kepada orang-orang tertentu di sana. Sebagai catatan, Saridin terdampar di sebuah tempat yang sekarang dibangun masjid Merogan (Muara Ogan) di tepian sungai musi (wilayah kecamatan Kertapati sekarang). Orang-orang yang sempat memperoleh berkah ilmu Saridin adalah salah satunya, dan terutama, Kyai Merogan (Ki Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs H. Mahmud alias K. Anang) yang di Palembang terkenal dengan karamah-karamah-nya.
    Apa yang Anda pikirkan? Saya kira tidak akan terlalu jauh dari apa yang ada di benak saya. Ya, terdapat inkonsistensi dalam cerita yang saya tuliskan di atas. Salah satu inkonsistensi yang paling mencolok adalah urutan waktu.
Walisongo hidup pada masa pra penjajah. Beberapa diantaranya bahkan hidup pada masa pra kerajaan Islam Jawa (dalam hal ini kesultanan Demak). Sunan Ampel umpamanya, adalah guru dari Raden Fatah, orang yang kelak menjadi Sultan pertama Demak. Pada masa konsolidasi kekuasaan Demak itu, Sunan Ampel saya bayangkan sudah amat sepuh. Sunan Ampel, apalagi Maulana Maghribi, saya yakin tidak mencicipi rasa dijajah oleh kulit putih.
Saridin, seperti termaktub dalam cerita, adalah murid dari Sunan Kalijaga. Yang belakangan ini adalah murid dari Sunan Bonang, alias putera dari Sunan Ampel. Saya perkirakan, Sunan Kalijaga hidup pada pertengahan kekuasaan Demak. Kita masih amat ingat cerita perihal tiang masjid agung Demak yang beliau bikin dari tatal (serpihan kayu). Saya sangsi apakah sang Sunan ini masih hidup saat muridnya yang lain, si Jaka Tingkir, atau bahkan anak angkat Jaka bernama Panembahan Senopati itu “menghabisi” Demak.
Setahu saya, pada periode ini, Belanda belum datang. Paling jauh, mengutip Arus Balik Pramudya Ananta Toer, waktu itu (pada masa hidup Sunan Kalijaga dan murid-muridnya), Nusantara baru saja didatangi oleh penjajah Portugis dan Spanyol (bukan Belanda). Kalaupun pada saat itu mereka (Belanda) dimungkinkan sudah menginjak bumi ini, saya yakin mereka belum memiliki kekuasaan yang signifikan sehingga mereka mampu sewenang-wenang memenjarakan seseorang, seperti dalam kasus Saridin. Cerita pertama tentang kronik melawan Belanda, sejauh yang saya tahu, terjadi pada masa Sultan Agung, generasi ketiga kesultanan Mataram. Bisa dibilang pendiri pertama kesultanan Mataram Islam adalah cucu dari Sunan Kalijaga. Apakah mungkin Saridin memiliki kesaktian memanjangkan umur?
Tetapi mungkin saja si pencerita, entah karena tak tahu atau sebab alasan lain, tidak menganggap penting urutan kronologis. Pada umumnya, sebuah legenda lebih memerdulikan unsur pesan/amanat daripada ketepatan waktu. Hal terpenting yang saya dapat dari cerita tutur di atas adalah informasi bahwa ternyata Saridin ini pernah terdampar di Palembang.
Tetapi jika Saridin dihubung-hubungkan dengan Ki Merogan, lagi-lagi kita terbentur pada inkonsistensi kronologis. Ki Merogan adalah seorang yang bergelar Masagus (Mgs), satu dari beberapa titel keluarga kerajaan Kesultanan Palembang Darussalam. Kita tahu, jika betul bahwa Saridin termasuk murid dari Sunan Kalijaga, maka pada saat itu Kesultanan Palembang Darussalam belum lagi diproklamirkan (Pada masa kesultanan Demak, Palembang tak lebih dari “provinsi”. Ia baru memroklamirkan kemerdekaannya selang beberapa generasi Kesultanan Mataram).
Sebetulnya, menyikapi silang sengkarut seperti ini, saya punya analisa (yang mungkin saja “agak ngawur”) sebagai berikut:
Saridin memang terdampar di Palembang. Tetapi sebetulnya ia tak sendirian, atau sendirian sebab ia datang lebih belakangan. Pada saat itu, pada masa ketika kesultanan Demak diguncang konflik perebutan kekuasaan, beberapa anggota keluarga Demak memang disebutkan mengungsi ke Palembang. Keturunan dari orang-orang inilah yang kelak memproklamirkan Palembang Darussalam sebagai kesultanan independen, lepas dari Mataram.
    Saridin barangkali tidak menetap lebih lama, oleh sebab itu ia kembali lagi ke tanah jawa. Tetapi sebelum itu, saya menduga, ia meninggalkan sekelumit “ilmu”-nya di tanah Sriwijaya ini. Ini tidak mengherankan, sebab seturut legenda, beberapa peninggalan Saridin, seperti Lulang Kebo Landoh masih menyimpan keramat bahkan ketika tuannya sudah meninggal. Kulit kerbau inilah yang menjadi sasaran perburuan para kolektor, sebab konon dengan kulit tersebut seseorang bisa kebal senjata.
Lantas bagaimana hubungan Saridin dengan Ki Merogan?
Ki Merogan merupakan keturunan, atau setidak-tidaknya murid, dari orang-orang yang pernah berguru pada Saridin (Keturunan ke berapa atau murid angkatan ke berapa, saya kurang jelas betul). Karamah-karamah Ki Merogan yang amat terkenal di Palembang, adalah satu dari beberapa ajaran yang diwariskan dari Saridin. Masalahnya adalah apa yang diajarkan Saridin? Saya yakin bukan “ilmu-ilmu hikmah” seperti yang banyak diperagakan dalam dunia persilatan dan atau medan perdebusan.
    Bisa saja Anda tidak setuju dengan pandangan saya. Sah-sah saja. Tetapi yang membuat saya tak habis pikir adalah cerita tutur yang saya terima itu memang diniatkan oleh si pencerita untuk menunjukkan adanya “missing link” yang menghubungkan peradaban Jawa dan Sumatera, dalam hal ini geneologi intelektual. Perlu pendalaman yang lebih intens lagi untuk menggali subyek kajian yang satu ini. Kita tahu, dari Palembang juga lahir ulama-ulama hebat sekaliber Syeikh Abdus Shamad Al-Falimbani, Kemas Fahruddin, dan lain-lain. Dengan adanya kajian yang lebih jauh, saya pikir kita pada akhirnya bisa menjelaskan mengapa umpamanya, pola keberagamaan masyarakat Palembang Modern terasa lebih “kering”? Bisa jadi karena kami memang telah kehilangan Saridin? inilah sekelumit cerita tentang perjalanan seseorang yang bernama saridin, semoga menjadi renungan kita semua. terima kasih sampai ketemu dipostingan yang akan datang.

0 Komentar untuk "Saridin dan Ki Merogan"

Back To Top