Cerita Rawa Pening
Walau tak tak ada yang tahu pasti, sejak kapan legenda
itu muncul dan mengapa kawasan tersebut di sebut Rawa pening, tetap saja
masyarakat setempat mengaitkan telaga seluas 2.670 Ha itu dengan kemunculan
sesosok ular besar yang dianggap keramat. Masih menurut mereka, di saat-saat
tertentu ular tersebut bergerak mengitari telaga untuk memberi berkah bagi
orang-orang yang membutuhkan. Sampai-sampai untuk menghormati legenda tersebut,
sebuah ornamen dari beton berbentuk ular besar pun di pasang di pintu masuk telaga
ini.
Rawa Pening, demikian nama objek wisata itu. Rawa Pening merupakan lokasi
wisata populer di Propinsi Jawa Tengah, tepatnya di Desa Bukit Cinta, Kabupaten
Ambarawa, berjarak 45 Km dari Semarang. Luasnya mencakup 4 wilayah kecamatan;
Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Telaga ini sendiri berada di lereng
Gn. Merbabu, Gn. Telomoyo dan Gn. Ungaran dengan ketinggian 461 mdpl.
Saat itu, di sebuah kesempatan kami memulainya dari Salatiga, hanya memakan
waktu 10 menit berkendara. Rupanya, jarak Salatiga – Rawa Pening cuma 5 Km.
Untuk sampai kesana kita akan melalui jalan yang sedikit menanjak dan
berkelok-kelok. Beberapa rumah dan kebun tampak menghiasi sisi kanan dan kiri
jalan. Selain itu, tak ketinggalan hawa dingin yang langsung menyergap, pertanda
kita sedang berada di ketinggian.
Hari tampak mendung, saat kami tiba di objek wisata ini, pukul 8.30 pagi.
Keinginan menjelajahi telaga yang luasnya mencakup 4 kecamatan ini pun sempat
urung dilaksanakan. Pasalnya, tak lama berselang hujan deras turun. Jika sudah
begini, jarak pandang akan terbatas akibat kabut dan penyewaan perahu tampak
sepi.
Rencananya, kunjungan singkat ini untuk menikmati pesona telaga yang dianggap
sakral oleh penduduk setempat, sembari melihat dari dekat penghuni kawasan yang
oleh masyarakat sekitar di sebut ‘ikan wader’. Konon telur ikan ini berkhasiat
sebagai obat perekat bagi tulang yang patah.
Sebuah Legenda
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, sumber air telaga berasal dari
luberan air bekas cabutan lidi Baru Klinting.
Alkisah, hiduplah seorang bocah yang karena kesaktiannya di kutuk seorang
penyihir jahat. Akibatnya, bocah itu memiliki luka di sekujur tubuh dengan bau
yang sangat tajam. Luka itu tak pernah mau kering. Jika mulai kering, selalu
saja muncul luka-luka baru, disebabkan memar.
Akhirnya, tak ada seorang pun yang mau bersahabat dengannya. Jangankan
berdekatan, bertegur sapa pun mereka enggan. Setiap berpapasan mereka pasti
melengos. Tak ingin bersinggungan, karena takut tertular.
Bocah ini pun mulai berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan
seseorang yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Hingga kemudian dalam mimpinya, ia
bertemu seorang wanita tua yang baik hati. Kelak dialah yang sanggup melepaskan
mantera jahat tersebut sehingga ia bisa pulih seperti semula.
Akhirnya, tak dinyana tak di duga, dia pun tiba di sebuah kampung yang
kebanyakan orang-orangnya sangat sombong. Tak banyak orang miskin di tempat itu. Kalaupun ada, pasti akan di usir
atau dibuat tidak nyaman dengan berbagai cara.
Kemunafikan orang-orang kampung ini mengusik nurani bocah kecil tadi, yang
belakangan diketahui bernama Baru Klinting. Dalam sebuah pesta yang meriah, bocah
tersebut berhasil menyellinap masuk. Namun apa ayal, ia pun harus rela di usir
paksa karena ketahuan.
Saat tengah di seret, ia berpesan agar sudi kiranya mereka memperhatikan
orang-orang tak mampu, karena mereka juga manusia. Sama seperti mereka. Di perlakukan begitu ia tak begitu ambil pusing. Namun
amarah mulai memuncak, saat puluhan orang mulai mencibir sembari meludahi
dirinya. “dasar anak setan, anak buruk rupa”, begitu maki mereka.
Tak terima dengan perlakuan itu, ia pun langsung menancapkan sebatang lidi yang
kebetulan ada di sana. Lalu dengan wajah berang ia pun bersumpah, bahwa tak ada
seorang pun yang sanggup mengangkat lidi ini, kecuali dirinya.
Tak percaya dengan omongan sang bocah, masing-masing orang mulai mencoba
mencabut lidi tersebut. Namun, lagi-lagi, lidi itu tak bergeming dari
tempatnya. Hingga akhirnya orang-orang mulai takut dengan omongan si bocah.
“Jangan-jangan akan ada apa-apa?” pikir mereka.
Benar saja, dalam beberapa hari, tak ada seorang pun yang sanggup melepas lidi
tersebut. Hingga akhirnya, secara diam-diam ia kembali lagi ke tempat itu dan
mencabutnya. Seorang warga yang kebetuan lewat melihat aksinya, langsung
terperangah. Ia pun menceritakan kisah itu kepada orang-orang yang lain. Tak
lama kemudian, tetesan air pun keluar dari lubang tadi. Makin lama makin
banyak, hingga akhirnya menenggelamkan kampung tersebut dan membuatnya menjadi
telaga.
Konon tak banyak orang yang selamat, selain warga yang melihat kejadian dan
seorang janda tua yang berbaik hati memberinya tumpangan. Janda ini pula yang
merawatnya, hingga secara ajaib, penyakit tersebut berangsur-angsur hilang.
Namun penyihir jahat, tetap tak terima, hingga di suatu ketika, Baru Klinting
kembali di kutuk. Namun aneh, kali ini kutukan bukan berupa penyakit, tapi
malah merubah tubuhnya menjadi ular yang sangat besar dengan kalung yang
berdentang pada lehernya.
Versi lain menyebutkan, ular ini sering keluar dari
sarangnya tepat pukul 00.00 WIB. Setiap ia bergerak, dentingan kalung di
lehernya selalu berbunyi; klentang klenting. Akhirnya, bunyi ini pula yang
membuatnya di kenal sebagai Baru Klinting.
Konon, nelayan yang sedang kesusahan karena tidak mendapat ikan, pasti akan
beruntung jika Baru Klinting lewat tak jauh dari tempatnya. Itu yang membuat
legenda kehadirannya telah menjadi semacam berkat yang paling di tunggu-tunggu. semoga informasi ini bermanfaat.......
0 Komentar untuk "Cerita Rawa Pening"