SALIN SWARA
"Hemat penulis Swasana Salin
Swara ini belum dibahas secara mendalam apalagi diajarkan dalam pengajaran
bahasa. Semoga tulisan ini dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi praktisi dan
penikmat bahasa, khususnya Bahasa Banyumasan"
Bahasa Banyumas itu ternyata unik. Walau terasa terlalu gegabah
mengatakan sebuah kata sebagai kata asli dari Banyumas, tak apalah setidaknya
kata-kata yang akan penulis bicarakan telah dipakai sejak lama di wilayah
Banyumas.
Dalam Bahasa Inggris ada istilah
“irregular verb” yang umumnya dikatakan sebagai kata kerja tak beraturan. Perubahan
kata kerja dalam suatu kalimat tergantung dari tenses (bentuk kalimat
berdasarkan waktu yang digunakan). Waktu akan menentukan apakah yang dipakai
adalah kata kerja bentuk pertama atau dasar (base verb), bentuk kedua (past),
atau bentuk ketiga (past participle).
Kata kerja bentuk pertama, bentuk kedua, dan bentuk ketiga tidak sama. Sekedar
contoh “take” bentuk keduanya menjadi “took” dan bentuk ketiganya menjadi
“taken”. Ketiga-tiganya mempunyai arti yang sama yaitu: mengambil. Kata
arise (infinitife), arose (preterite) dan arisen (past participle), artinya
sama yaitu: terbit.
Jika dalam Bahasa Inggris ada irregular
verb maka dalam pelajaran Bahasa Jawa kita mengenal Dwi Lingga Salin Swara
(dua kata yang berganti bunyi), contohnya: wira-wiri, kocar-kacir,
gonjang-ganjing.
Dalam peristiwa bahasa yang hampir
sama dengan kedua hal tersebut adalah: ada kata yang akan berganti bunyinya
disebabkan ada situasi yang berubah. Penulis menyebutnya sebagai Swasana Salin
Swara.
Dalam Bahasa Inggris perubahan bunyi
sangat dipengaruhi olah waktu sedangkan dalam Bahasa Banyumas dipengaruhi oleh
situasi, swasana. Dari pengamatan penulis, peristiwa Swasana Salin Swara
obyeknya tetap sama, namun kata-katanya menjadi berubah seiring dengan swasana yang
berubah.
Berikut ini adalah hal yang mempengaruhi perubahan bunyi dan masuk dalam
katagori Swasana Salin Swara antar lain:
1. Perubahan
ukuran dari kecil menjadi lebih besar.
a. Indhil-indhil –
ondhol-ondhol
b. Mlenthing – mlenthung
c. Njendhil – njendhol
d. Menunung – menonong
e. Mrintis
– mruntus
f. Krikil
– krakal
2. Perubahan
jumlah, dari sedikit menjadi lebih banyak.
a. Secimit
– secomot
b. Linthing
– lunthung
c. Gemridig – gemrudug
d. Ngglindhing - ngglundhung
e. Mrepet
– mrapat
3. Perubahan tempat, dari yang rendah meningkat menjadi lebih tinggi.
a. Thongkrong
– thingkring – thingkrang – thungkrang
b. Mencolot
– menculat – mencelat
c. Njenthir
– njenthar
d. Njengit
– njengat
4. Perubahan
posisi obyek
a. Mringis – mrenges – mrongos (penampakan gigi)
b. Ngeneh – nganah (jarak)
c. Njengking – njengkang (depan- belakang)
d. Njeplik – njeplak (bukaan)
e. Ceker – cakar ( fungsi)
5. Perubahan bunyi
obyek kerena pengaruh obyek lain
a. Thithik
– thuthuk – thothok
b. Kemricik – kemracak
c. Klethik – klethak
d. Teplik
– tepluk
6. Karena
sebab-akibat
Garang – garing.
“Kuwe suluhe de garang neng nduwur
pawon, toil mengko gelis garing”
7. Kata
yang lain:
a. sengir – sengar,
b. angkat – angkut,
c. kripik – krupuk
e. tampah
-- tampir
f. neng
kana -- neng kene
Kata-kata di atas jelas ada dan
digunakan dalam percakapan sehari-hari di Banyumas. Namun karena keterbatasan
pengetahuan dalam hal kosa kata maka contoh yang dapat penulis sajikan pun
masih terbatas.
Harapan penulis adalah dengan pembahasan yang singkat dari Swasana Salin Swara ini
semoga dapat dijadikan sebagai pembuka wawasan bahwa masih ada keunikan dalam
budaya tutur Banyumasan yang perlu dikaji, dicermati dan dikembangkan
Bahasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat
penuturnya. Bagi masyarakat Banyumas dialek Banyumasan tentu mempunyai
kedudukan dan fungsi penting dalam kehidupan bermasyarakat. Bahasa adalah
sebuah sitem lambang bunyi tutur yang digunakan untuk berkomunikasi oleh
masyarakat pemakainya
Dalam berbahasa selalu tersirat
realita perilaku sehari-hari para pemakainya. Dengan mencermati contoh
kata-kata dalam Swasana Salin Swara barangkali kita dapat
mengira-ira sifat dan perilaku masyarakat Banyumas.
Cara pembentukan kata dalam contoh
di atas adalah begitu praktis, sederhana, lucu dan terbuka.
1. Praktis, tidak membuat kata yang benar-benar baru, mungkin karena
obyeknya tetap sama.
Indhil-indhil; bulat kecil; menjadi ondhol-ondhol; bulat besar.
2. Sederhana, mayoritas hanya mengubah bunyi vocal, mirip Dwi Lingga
Salin Swara.
Njengit; ketika si ujung naik sedikit, dan menjadi njengat; saat si ujung
naik lebih tinggi.
Njeplik; ketika terbuka sedikit dan njeplak: saat terbuka lebar
3. Lucu, funny, menggelikan:
njendhil menjadi njendhol,
njenthir menjadi njenthar.
Jika barang kecil yang jatuh dikatakan, “Tiba teplik”; dan ketika benda yang
jatuh lebih besar dikatakan, “Tiba, tepluk!”
4. Terbuka, egaliter, artinya setiap orang dapat dengan mudah membentuk
kata “baru”, bahkan dapat secara spontan terbentuk karena rumus pembentukannya
yang begitu praktis dan sederhana.
Sepengetahuan penulis Swasana Salin Swara ini belum sempat dibahas secara khusus
dan apalagi mendalam oleh para praktisi bahasa, baik Bahasa Jawa maupun oleh
pemerhati Bahasa Banyumasan. Belum juga diberitahukan atau diajarkan dalam
pengajaran bahasa. Bahkan dalam bahasa Indonesia pun tidak dikenal hal yang
semacam irregular verb ini.
Semoga tulisan ini dapat dijadikan sebagai tambahan pengetahuan di kalangan
praktisi dan penikmat bahasa, khususnya Bahasa Banyumasan. Bagi guru Bahasa
Jawa mungkin dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan untuk para siswanya. semoga bermanfaat.
0 Komentar untuk "Bahasa Banyumasan"