Selamat Datang di Blog SOKARAJA WETAN

Uji Keperawanan dan Keperjakaan Di Candi Sukuh Gunung Lawu

Candi Sukuh - Ditemukan oleh arkeolog pada masa pemerintahan Gubernur Raffles tahun 1815. Usaha pelestarian komplek candi ini dilakukan oleh Dinas Purbakala sejak tahun 1917. Konon, candi ini didirikan pada abad ke 15 masehi semasa dengan pemerintahan Suhita, Ratu Majapahit yang memerintah pada tahun 1429-1446. Belum banyak wisatawan menyadari, bahwa Candi Sukuh yang terletak di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar yang mudah dicapai dengan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat, karena hanya berjarak sekitar 27 km dari pusat kota Karanganyar. Candi Sukuh ini sesungguhnya merupakan candi paling menarik di Jawa. Bukan cuma bangunan-bangunan fisiknya yang mengentalkan hal itu. Namun suasana alam yang berkabut tebal serta hawa dingin menusuk tulang yang selalu tersaji saban hari, sering kali menebar nuansa mesum.
Selain menampilkan ornamen orang bersenggama secara vulgar, di lantai pelataran Candi Sukuh juga terpampang jelas relief yang menggambarkan secara utuh alat kelamin pria yang sedang ereksi, berhadap-hadapan langsung dengan vagina. “Lantaran situasinya seperti itu, masyarakat setempat kadang menyebut Candi Sukuh sebagai Candi Rusuh (saru atau tabu).  Memahami Candi Sukuh secara utuh memang tidak cukup melihat kulitnya saja. Kita harus berani masuk hingga ke relung paling dalam. Tapi sanggupkah kita menyibak kesakralan candi paling erotis tersebut, agar kita bisa bermimpi tentang surga di sana?
Menurut sejarah, Candi Sukuh yang berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, itu dibangun pada sekitar abad ke-15 oleh masyarakat Hindu Tantrayana. Dalam catatan sejarah, candi ini merupakan candi termuda dalam sejarah pembangunan candi di Bumi Nusantara. Candi ini dibangun pada masa akhir runtuhnya Kerajaan Majapahit. Kompleks situs purbakala Candi Sukuh berada di ketinggian 910 meter diatas permukaan laut. Berhawa sejuk dengan panorama indah.
Memasuki kompleks candi, kita akan bertemu dengan trap pertama yang pintu masuknya melalui sebuah gapura. Pada sisi gapura sebelah utara terdapat relief `manusia ditelan raksasa` yakni sebuah `sengkalan rumit` (candrasengkala) yang bisa dibaca `Gapura (9) buta (5) mangan (3) wong (1)` atau gapura raksasa memakan manusia, yang merujuk sebuah tahun yakni 1359 Saka, atau tahun 1437 Masehi, tahun dimana pembangunan gapura pertama selesai. Di sisi selatan gapura juga terdapat relief raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular. Menurut candrasengkalanya berbunyi `Gapura buta anahut buntut` (gapura raksasa menggigit ekor ular), yang merujuk pula tahun 1359 Saka atau 1437 Masehi.
Saat wisatawan menaiki anak tangga dalam lorong gapura, akan disuguhi relief yang sangat vulgar terpahat di lantai. Relief ini menggambarkan phallus yang berhadapan dengan vagina. Inilah yang kemudian menjadi trademark dari popularitas Candi Sukuh. 
Konon dulu, seorang suami yang ingin menguji kesetiaan istrinya, dia akan meminta sang istri melangkahi relief ini. Jika kain kebaya yang dikenakannya robek, maka dia tipe isteri setia. Tapi sebaliknya, jika kainnya hanya terlepas, sang isteri diyakini telah berselingkuh. Namun berbeda dengan sumber yang lain yang saya temukan, di sumber lain mengatakan bahwa jika sang gadis yang tidak perawan atau melakukan perselingkuhan melaukan tes ini, maka kain yang digunakan akan robek dan meneteskan darah.
Dan apabila seorang lelaki mengetes keperjakaannya, maka dia harus melangkahinya juga dan jika laki laki tersebut terkencing kencing, maka menjadi bukti bahwa lelaki tersebut sudah tidak perjaka atau pernah melakukan perselingkuhan. Dalam perkembangannya sekarang, cukup banyak anak-anak usia ABG yang datang ke sini berhasrat mengikuti tradisi dan kepercayaan para leluhur tadi. Tapi, karena malu, kurang percaya diri, serta takut kalau-kalau benar terjadi pada diri mereka, maka niat coba-coba itu sering tidak dilaksanakan.

Meskipun memberi kesan porno, relief tersebut sesungguhnya mengandung makna yang mendalam. Relief tersebut sengaja dipahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief itu segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena `suwuk`. Relief ini mirip lingga-yoni, lambang kesuburan dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya, Parwati.
Trap kedua lebih tinggi ketimbang trap pertama dengan pelataran yang lebih luas. Gapura kedua ini sudah rusak, dijaga sepasang arca dengan wajah kosmis. Garapannya kasar dan kaku, mirip arca jaman prasejarah di Pasemah. Pada latar pojok belakang dapat dijumpai seperti jejeran tiga tembok dengan pahatan-pahatan relief, yang disebut relief Pande Besi.
Relief sebelah selatan menggambarkan seorang wanita berdiri di depan tungku pemanas besi, kedua tangannya memegang tangkai `ububan` (peralatan mengisi udara pada pande besi). Boleh jadi dimaksudkan agar api tungku tetap menyala. Ini menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol pada saat pembangunan candi ini.
Di bagian tengah terdapat relief yang menggambarkan Ganesya dengan tangan memegang ekor. Sengkalan rumit ini dapat dibaca `Gajah Wiku Anahut Buntut`, merujuk tahun 1378 Saka atau tahun 1496 Masehi. Relief pada sebelah utara menggambarkan seorang laki-laki sedang duduk dengan kaki selonjor. Di depannya tergolek senjata-senjata tajam seperti keris, tumbak dan pisau.
Sedangkan trap ketiga merupakan trap tertinggi atau sering disebut sebagai trap paling suci. Trap ini melambangkan kehidupan manusia setelah mati, dimana jiwa dan roh manusia terangkat ke nirwana (surga). Konon, mereka yang punya beban hidup berat akan terlepas jika melakukan permohonan di puncak trap ketiga ini. Sebaliknya, segala permohonan yang diminta dengan niat tulus dan hati bersih juga akan terkabul.


Sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, yang di dalamnya ada arca dengan ukuran kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan kediaman Kyai Sukuh, penguasa gaib kompleks candi tersebut. Ada juga arca garuda dua buah berdiri dengan sayap membentang. Salah satu arca garuda itu ada prasasti menandai tahun saka 1363. Juga terdapat prasasti yang diukir di punggung relief sapi yang menyiratkan bahwa Candi Sukuh adalah candi untuk pengruwatan.

Dengan bukti-bukti relief cerita Sudamala, Garudeya serta prasasti-prasasti, maka dapat dipastikan Candi Sukuh pada zamannya adalah tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ritus) ruwatan. Sedangkan ditilik dari bentuk candi yang mirip dengan “punden berundak”, candi ini ditujukan sebagai tempat pemujaan roh-roh leluhur. Tradisi `ruwatan` juga masih dipelihara dengan baik oleh masyarakat penganut Hindu yang berdiam di sekitar kawasan candi sampai sekarang.


.
0 Komentar untuk "Uji Keperawanan dan Keperjakaan Di Candi Sukuh Gunung Lawu"

Back To Top