UPACARA ADAT BANYUMAS
Adat Banyumas
Masyarakat Jawa termasuk Banyumas, dikenal sebagai masyarakat yang gemar
melakukan selametan. Semacam tradisi makan bersama keluarga dan
masyarakat sekitar dalam rangka hajat tertentu, dengan jenis hidangan tertentu
pula sesuai hajat yang diinginkan. Jika diterjemahkan, berbagai bentuk slametan itu
dimaksudkan untuk memohon dihindarkan dari berbagai gangguan dalam menjalani
suatu fase kehidupan. Juga dapat dimaknai sebagai tanda syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa atas segala berkah dan kemudahan yang telah diberikan. Menurut M.
Koderi (1991:114-131), biasanya selamatan semacam ini muncul
pada upacara adat yang berhubungan dengan lingkaran hidup, yaitu; kelahiran,
kitanan, pernikahan, dan kematian.
(1) Upacara Kelahiran
Beberapa tradisi dilakukan masyarakat dalam menyambut kelahiran seorang anak
manusia. Upacara selamatan pra-kelahiran pun digelar dengan berbagai harapan positif terhadap bayi yang hendak lahir.
Biasanya upacara itu berupa kenduri, semacam acara makan
bersama masyarakat sekitar dengan hidangan tertentu sesuai usia janin dalam
kandungan. Ketika janin masih berusia tiga bulan dalam kandungan,
diadakan selamatan jenang bening, bubur sumsum, dan nasi punar. Lalu ketika
janin berusia empat bulan, dilakukan selamatan dengan sebutan ngupati.
Wujudnya berupa ketupat, gudeg, nasi pecel, tumpeng, enten-enten dan ketan.
Lalu pada masa kehamilan tujuh bulan, ada selamatan lagi yang disebut
mitoni atau ningkebi dengan upacaranya disebut tingkeban. Bahkan ketika
usia kehamilan mencapai sembilan bulan ada selamatan lagi yang disebut mrocoti.
Makanan atau masakan yang diperlukan antara lain: jenang procot, kupat, nasi
golong, bulus angrem, dhawet, dan lain-lain.
Perubahan mencolok
terjadi pada proses kelahiran bayi. Jika dahulu peran dukun bayi sangat dominan
dalam membantu kelahiran, kini perannya digantikan oleh tenaga medis; bidan dan
dokter kandungan. Meski begitu di beberapa wilayah pinggiran, keberadaan dukun
bayi masih dibutuhkan masyarakat. Terutama untuk melakukan perawatan
berupa pijat urut bayi pada minggu-minggu awalkelahiran.
Satu tradisi khas Banyumas yang masih
terpelihara hingga kini berkaitan dengan kelahiran bayi adalah
penyimpanan ari-ari atau tali pusat bayi yang tidak dikubur
sebagaimana di daerah lain. Setelah dipotong, baik dengan alat tradisional
berupa welat (bilah bambu yang ditipiskan sedemikian rupa
hingga menjadi tajam seperti pisau) yang telah dibaluti kunyit, maupun pisau
dan gunting, tali pusat itu dimasukkan ke dalamkendhil (periuk dari
tanah) yang masih baru. Kemudian ditutup dengan daun pisang raja,
ditaburi kembang telon (kantil, mawar, melati), minyak wangi,
garam, jarum, benang, gereh pethek(sejenis ikan asin) dua ikat
sirih keris dan jambe serta kemiri. Juga disertakan kertas bertuliskan huruf
abjad Arab, Latin dan Jawa. Baru di atasnya ditutup dengan cobek dari tanah.
Selanjutnya, kendhil tersebut dihanyutkan di sungai, dengan maksud agar kelak
anak tersebut gemar merantau. Ada pula yang digantung di luar rumah, agar kelak
anaknya sendiri yang menghanyutkan. Namun juga ada yang ditanam (dikubur) oleh
ayahnya sendiri. Saat menanamnya pun mengikuti aturan, harus berpakaian rapi,
ari-ari digendong dengan selendang dan dipayungi. Setiap hari kelahirannya (weton)
ari-ari ditaburi bunga telon.
Saat sisa
usus bayi yang melekat pada pusar mengering dan lepas, sering disebut puput
puser. Menurut adat, bila bayi laki-laki, lubang
pusernya disumbat dengan dua buah mrica agar kelak menjadi lelaki sejati. Bila
bayinya perempuan, lubang pusar disumbat dengan ketumbar. Sore harinya biasanya
diadakan upacara selamatan dengan hidangan terdiri dari nasi dan janganan (sayuran),
jenang merah putih, baro-baro dan jajan pasar. Sedangkan sesajinya berupa golong
lima yaitu ikan, padupan, bunga cempaka dan uang logam,
ditempatkan di takir (daun pisang dibentuk bundar).
(2) Upacara Sepitan/ Sunatan/
Khitanan
Anak
laki-laki yang menginjak usia sekitar 12 -14 tahun, biasanya dikhitan sebagai
tanda sudah baliq. Upacara sunatan biasanya dilakukan dengan memasang tarub,
disaksikan oleh para famili, tetangga dan warga desa lainnya. Dahulu yang
menyunat anak dilakukan oleh dukun sepit. Biasanya sunatan pada pagi hari
(subuh). Sebelumnya anak yang mau disunat disuruh berendam selama kurang lebih
satu jam agar darahnya tidak banyak keluar. Apalagi jaman dahulu, pengobatan masih
sangat sederhana. Alat yang digunakan si dukun dahulu dari welad (sembilu),
kemudian menggunakan pisau kecil atau pemes.
Anak yang
baru dikhitan, biasanya tidak boleh banyak bergerak dan tidak mandi cukup
disekah (diusap pakai lap basah), agar bagian luka yang disunat tidak kena air,
sehingga cepat sembuh. Anak yang bersangkutan juga harus menjalani puasangasrep
(makanan tanpa garam, gula, dan cabai). Pantangan itu bertujuan agar darah
tidak keluar dari luka, dan cepat kering.
Anak-anak
yang disunat biasanya mendapat hadiah dari sanak famili ataupun para undangan
dan teman sebaya. Hari-hari penyelenggaraan sunatan bagi si anak biasanya
dilakukan dengan memilih hari baik, bukan hari pantangan. Demikian pula dengan
pemilihan bulan yang didasarkan pada perhitungan tertentu sehingga dianggap
baik untuk melaksanakan hajatan. Bulan yang dianggap baik untuk mengadakan
hajatan pada umumnya adalah bulan Besar (Dulhijjah), Mulud (Rabi’ulawal),
Jumadilakhir, Rajab dan Ruwah (Sya’ban).
sang dibentuk bundar).
(3) Upacara Perkawinan
Hal-hal penting dalam tata urutan
upacara perkawinan menurut tata urutan Jawa sebagai berikut :
(a) Utusan, merupakan proses penyelidikan dengn
menanyakan status si gadis. Yang menjalankan
tugas ini dinamakancongkokog.
(b) Melamar,
pembicaraan resmi yang disampaikan utusan orang tua pihak laki-laki dengan
maksud melamar di rumah orang tua si gadis.
(c) Srah-srahan atau bawa besanan, yaitu
menyerahkan uba rampe(barang-barang) kepada keluarga calon
penganten wanita oleh keluarga calon penganten pria. Biasanya dilakukan dua
atau tiga hari sebelum hari perkawinan.
(d) Siraman, yaitu upacara memandikan calon penganten
wanita. Upacara ini biasanya dilakukan sehari sebelum akad nikah berlangsung.
Waktunya menjelang tengah hari atau sekitar jam sebelas siang. Tujuan siraman
untuk menyucikan secara jasmani dan rohani karena pada hari berikutnya calon
mempelai akan melaksanakan salah satu tugas suci dalam hidup di dunia,
yaitu palakrama, akad nikah (Suwarna Pringgawidagda, 2003:1).
(e) Rias Pengantin, yaitu merias kedua calon pengantin sebelum upacara panggih atau
sebelum upacara akad nikah. Tugas merias dilakukan oleh ahli perias pengantin wanita
yang sering disebut dukun penganten. Busana yang digunakan
pengantin putri biasanya berupa kain batik, stagen, rimong cinde,
baju kebaya, dan selop. Busana dan perlengkapan pengantin pria yaitu kemeja
putih lengan panjang, kain jarit (bebed), stagen,sabuk
bora, epek timang, rompi, dasi kupu-kupu, jas bukakwarna
hitam, selop dan blangkon nodang Banyumasan.
(f) Upacara Akad Nikah, merupakan inti dari semua rangkaian upacara perkawinan.
Akad nikah yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, biasanya dilakukan
dengan mengundang penghulu. Umumnya pelaksanaan akad nikah (ijab qabul)
bersamaan dengan upacara adat perkawinan, dan acara pesta walimahan. Dalam
upacara panggih, setelah ijab qabul, diteruskan dengan:
memutus benang lawe, menginjak telur,tuntunan, menanam (nandur), rebutan panggang,
suap-suapan,sungkeman, dan diakhiri acara makan untuk para tamu atau
undangan (Thomas Wiyasa Bratawidjaja, 2000: 38).
Salah satu tradisi khas Banyumas
dalam upacara perkawinan adalah pagelaran begalan. Pentas ini
semacam ruwatan yang dimaksudkan untuk menghilangkan segala bentuk hambatan
yang mungkin menghadang kehidupan mempelai. Selanjutnya tentang begalan akan
dibahas tersendiri.
(4) Upacara Kematian
Tata upacara
kematian di daerah Banyumas nampak adanya akulturasi kebudayaan zaman animisme,
Hindu-Buddha dengan Islam. Pengaruh pra-Islam cukup kuat pada tradisi ini. Jika
menurut tuntunan agama Islam yang dijalankan oleh mayoritas masyarakat
perawatan jenazah terdiri atas empat hal pokok, yaitu; memandikan, mengafani,
menyolatkan, dan menguburkan, dalam praktiknya masih ada prosesi lain yang
dilaksanakan. Yaitu menaburkan kembang setaman, beras kuning, dan uang logam di
sepanjang perjalanan jenazah dari kediaman sampai ke makam. Sebagian kembang
disebar di atas gundukan pemakamannya. Kelapa muda yang telah dipotong salah
satu ujungnya sampai berlobang, diletakkan dekat nisan. Ada pula yang memberi
sesaji dengan membakar kemenyan dan air dalam kendi di atas gundukan tanahnya.
Tradisi lain yang juga masih dilestarikan dalam rangka upacara kematian ini
adalah kenduri nyusur tanah, semacam acara pembacaan
mantra yang dilanjutkan dengan sesaji pada malam harinya. Kenduri juga diadakan
pada hari ke-3, ke-7, ke-40 dan hari ke-100, bahkan hari ke-1000 dari hari
kematian, karena menurut kepercayaan, pada hari-hari tersebut arwah orang yang
sudah meninggal masih berada di sekitar rumah.
Ketika
Islam masuk adat tersebut dibiarkan tetap berjalan, tetapi isi dan tata caranya
dimasuki ajaran agama Islam. Seperti mantra-mantra diganti dengan doa dan
tahlilan atau bacaan Al-Qur’an. Sampai saat ini, tradisi dengan nuansa Islam
tersebut masih berjalan.
Bertakziah atau melayat adalah berkunjung ke tempat keluarga yang terkena
musibah kematian. Maksudnya untuk membantu atau meringankan beban penderitaan
keluarga yang ditinggalkan.
0 Komentar untuk "UPACARA ADAT BANYUMAS"