KEARIFAN LOKAL WONG JAWA YANG
SERINGKALI DISALAH ARTIKAN
Masyarakat Jawa sudah dikenal
memiliki kepercayaan terhadap adanya suatu kekuatan magis dan pemujaan terhadap
ruh-ruh leluhur dalam kehidupan mereka yaitu animisme dan dinamisme. Hal ini
telah berlangsung lama, semenjak sebelum datangnya beberapa agama di Indonesia
bahkan sampai dengan saat ini ketika banyak masyarakat jawa yang sudah memeluk
agama tertentu. Pemahaman akan adanya energi/kekuatan magis (ghaib) dan adanya
kehidupan setelah kematian menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat jawa
mempunyai dasar-dasar nilai spiritualitas dalam kehidupannya. Disamping itu,
masyarakat jawa juga dikenal suka menggambarkan sesuatu dengan simbol-simbol
atau pralambang. Seperti yang disampaikan oleh salah satu budayawan Surakarta
KGPH Dipokusumo pada perjumpaan beberapa tahun silam, beliau menjelaskan jika
wong jawa/masyarakat jawa pada dasarnya merupakan Homo Simbolis jadi suka
menjelaskan sesuatu melalui penggambaran dalam bentuk simbol ataupun
pralambang. Pertemuan antara nilai-nilai spiritualitas dan simbol/pralambang
inilah yang membentuk budaya jawa menjadi budaya yang sangat luhur dan
mempunyai makna filosofi yang tinggi. Hal inilah yang dimaksud dengan wohing
budi lan daya, jadi untuk memahaminya pun perlu menggunakan rasa (rah sa) dan
budi agar kita bisa menggali makna-maknanya. Tentu ini tidak mudah, diperlukan
latihan olah rasa dan kedewasaan spiritual,sehingga mampu mengungkap tabir yang
ada. Namun hal ini akan dimaknai berbeda, ketika hasil budaya tersebut dipahami
seperti apa yang dilihat tanpa dikaji dan digali maknanya. Maka tidak heran
jika sebagian orang menilai jika budaya jawa itu lekat dengan hal-hal yang
berbau mistis, irrasional dan klenik.
|
Pada kesempatan ini,
kita akan mencoba mengangkat beberapa contoh kearifan lokal yang ada, yang
sering disalahartikan sebagai hal yang sifatnya mistis / klenik oleh beberapa
orang yang antipati terhadap budaya maupun bagi orang-orang Jawa itu sendiri.
Seperti yang diungkapkan diatas, banyak hal yang bersifat pralambang/simbol.
Diantaranya sebagai berikut :
1. Bancakan
/slametan
Bancakan atau dikenal dengan
slametan biasanya diwujudkan dalam bentuk nasi tumpeng yang
berbentuk kerucut,biasanya nasi gurih (nasi uduk) dengan aneka lauk, atau
dikenal juga dengan istilah kembul bujana. Bancakan/slametan biasanya dilakukan
setelah terwujudnya suatu keinginan yang diinginkan, yang bermaksud untuk
mensyukuri atas karunia yang telah diterima. Bancakan / slametan dipandang
sebagai suatu hal yang klenik, dikarenakan dianggap sebagai sajen/sesaji kepada
danyang atau terhadap suatu kekuatan lainnya selain Allah. Padahal dalam
bancakan sendiri sebetulnya terdapat beberapa makna sebagai berikut:
a. Mensyukuri
atas nikmat/karunia dari Allah, atas terwujudnya suatu hajat/keinginan sehingga
diwujudkan dalam bentuk shodaqoh (sedekah), dengan mengeluarkan sebagian
rejekinya untuk berbagi terhadap sesama.
b. Nasi
uduk, berasal dari kata wudhu yang berarti suci/bersih. Dikarenakan berasal
dari nasi gurih, dilambangkan sebagai makanan yang harum. Diharapkan orang yang
selalu makan makanan yang harum dan bersih, darah dagingnya akan memancarkan
bau harum dengan sendirinya.
c. Tumpeng
buceng, bentuk kerucut, tumpeng dalam istilah Jawa dikenal dengan
buceng. Mbujung = buceng = mengejar untuk mencapai
tingkatan yang paling tinggi di dalam hidup yaitu tingkat kehidupan keIllahian,
dengan berbekal segala potensi hidup (potensi alami) yang dilambangkan dengan
uborampe makan yang berupa tumbuh-tumbuhan dikenal dengan gudangan.
2. Suran
/ Suro
Bulan suro dikenal sebagai bulan
yang sakral oleh sebagian besar orang Jawa. Beberapa orang masih memiliki
kepercayaan jika pada bulan ini tidak boleh mengadakan acara/hajatan. Jika
melanggar konon akan mengalami gangguan/hal-hal yang tidak diinginkan dalam
acara yang digelar. Ditambah lagi dengan adanya beberapa kegiatan budaya dari
keraton-keraton yang masih eksis semisal Kirab Pusaka yang diadakan oleh
Kadipaten Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan Surakarta. Khusus untuk kegiatan
dari Keraton Kasunanan yang paling familiar adalah adanya prosesi kirab pusaka
yang diawali dengan adanya rombongan kebo bule keturunan “Kyai Slamet” sebagai
pembuka jalan. *Dan biasanya justru rombongan kebo bule ini yang menjadi pusat
perhatian karena sebagian masyarakat akan memperebutkan kotoran kerbau/kebo (telethong
: bahasa jawa) yang diyakini akan membawa berkah*. (*tepuk
jidat..geleng-geleng..ngelus dada..hehehe). Hal inilah yang dianggap oleh
beberapa orang, kegiatan suran penuh dengan klenik dan bertentangan dengan
paham keyakinan/agama yang ada saat ini. Sangat disayangkan jika kegiatan
budaya yang ditinggalkan oleh pepundhen yang sebetulnya mempunyai makna yang
dalam dan adiluhung serta perlu dilestarikan tercoreng oleh hal-hal
yang bersifat irasional.
Penanggalan Jawa /tahun jawa pada
awalnya diciptakan oleh Sultan Agung. Bulan Suro berasal dari kata Asyura (bahasa
arab). Penanggalan jawa disinkronkan sesuai dengan penaggalan Islam (hijiryah)
oleh Sultan Agung, 1 Suro = 1 Muharram. Pada masa ini menurut Zamakhsyari
Dhofier, dikenal sebagai masa pemantaban Islam di Indonesia. Dari latar
belakang tersebut, menurut saya, bulan sura identik dengan bulan penuh perenungan
/introspeksi diri/muhasabbah. Sehingga orang-orang jaman dulu sering
mengingatkan di bulan suro dilarang memiliki hajat / kegiatan yang sifatnya
seperti pesta, bukan karena bulan yang sakral melainkan bulan suro sebaiknya
diisi kegiatan yang sifatnya untuk merenung, berkaitan adanya pergantian tahun.
Diharapkan pada tahun berikutnya pencapaian kita dalam kehidupan yang dijalani
bisa lebih baik lagi. Hal inilah yang membedakan pergantian tahun Masehi dengan
pergantian tahun Hijriyah. Ketika pergantian tahun Masehi dihiasi dengan pesta
yang meriah dan terkesan menghambur-hamburkan uang, berbeda dengan pemahaman
wong jawa jika pergantian tahun digunakan untuk merenung tentang kehidupan
senantiasa mengingat Sang Khalik, karena suatu saat tanpa kita duga, Sang
Khalik akan memanggil kita sewaktu-waktu untuk berpulang padaNya. Dalam istilah
jawa dikenal “tansah eling marang sangkan paraning dumadi”.
Sedangkan untuk
kegiatan-kegiatan yang menyambut bulan suro seperti kirab pusaka yang dilakukan
kraton pun mempunyai makna yang sangat dalam, jika dipahami dengan benar.
Mengingat semua kegiatan yang ada berwujud pralambang/simbol, sehingga perlu
diketahui makna dari kegiatan tersebut bukan karena ikut-ikutan (gugon tuhon) Berikut
kegiatan-kegiatan yang identik pada malam 1 suro :
a. Kirab
Pusaka
Kirab pusaka biasanya dilakukan
pada malam 1 suro, setelah pusaka dijamasi (dicuci/dibersihkan). Biasanya kirab
pusaka akan dikirab mengelilingi tembok kraton oleh para abdi dalem Keraton.
Prosesi ini pun terkesan sangat sunyi dikarenakan memang para pengiring
melakukan tapa mbisu (diam tidak berbicara). Selama prosesi berlangsung, para
abdi dalem disuruh untuk merenungkan perjalanan kehidupan selama setahun yang
sudah dijalani, disertai dengan melantunkan puji-puji syukur atas nikmat yang
diperoleh pada Sang Pemberi Nikmat, dan tidak lupa mengucapkan istighfar atas
kesalahan-kesalahan dan kekhilafan yang sudah dilakukan agar tidak terulang di
tahun-tahun mendatang. Hal inilah yang dimaksudkan sebagai makna positif dari
prosesi kirab pusaka, substansi dari kegiatan ini adalah
bermuhasabbah/merenung/instrospeksi diri.
Lalu kenapa harus mengelilingi
tembok kraton?? Keraton dalam masa Islam di tanah jawa bertindak sebagai pusat
pemerintahan, pusat kebudayaan,pusat pendidikan dan pusat agama. Sehingga
semuanya bermula dari Keraton. Aturan yang menyangkut ketatanegaraan hingga
aturan kehidupan bermasyarakat bermula dari Keraton. Keraton disini hanyalah
sebagai penggambaran dari suatu tempat (ibarat seperti magnet) yang menjadi
pusat dari kehidupan wong jawa saat itu.Maknanya dari kegiatan diatas, dalam
diri manusia, yang menjadi pusat (pancer : bahasa jawa) adalah hati
sanubari/hati nurani. Di dalam hati nurani tersebut terdapat satu tempat yang
sangat suci dimana semuanya kelihatan dengan jelas dan tidak bisa dikontaminasi
oleh apapun. Yang benar akan dikatakan benar dan yang salah akan dikatakan
salah, itulah yang disebut dengan mata hati (telenging roso : bahasa jawa /
fu’ad :bahasa arab). Sebagai contoh ketika kita melakukan suatu tindakan yang
salah pernahkah anda merasa ada yang memberontak dalam diri anda?ada perasaan
bersalah?jantung anda seolah-olah berdegup kencang?itulah hati nurani yang
sedang “berkomunikasi” dengan kita. Mungkin kita bisa membohongi pikiran kita,
tetapi kita tidak akan bisa membohongi hati nurani kita. Itulah makna dari topo
mbisu yang kami sampaikan diatas, kegiatan tersebut mengingatkan kita agar
selalu ingat kepada hati nurani/hati sanubari kita masing-masing. Suatu tempat
yang senantiasa bersih dan selalu terisi oleh nur Illahiah. Dalam kehidupan
manusia akan selalu ditarik oleh berbagai keinginan/hawa nafsu (muthmainah, lauwamah,
amarah dan sufiyah) kalau keempatnya tidak bisa kita kendalikan atau dengan
kata lain hanya mengikuti hawa nafsu tersebut, kita akan selalu
terombang-ambing dan tidak punya arah tujuan. Sebagai pengikat agar kita tidak
terombang-ambing oleh hawa nafsu berada di hati nurani/hati sanubari. Oleh
orang jawa dikenal dengan istilah Kiblat Papat Kalima Pancer. Pancer/pusat
disini adalah hati nurani/hati sanubari, sedangkan yang dimaksud dengan kiblat
papat adalah hawa nafsu yang terdiri dari muthmainah, lauwamah, amarah dan
sufiyah. lantas bagaimanakah caranya agar kita bisa mendengarkan hati
nurani/hati sanubari?itulah hakekat kita melaksanakan
sholat/sembahyang/kebaktian.
b. Jamasan
Pusaka
Jamasan Pusaka
|
Jamasan pusaka merupakan suatu
kegiatan yang pada intinya adalah membersihkan / mencuci benda-benda berharga
yang dimiliki keraton agar bersih. Bersih dari debu, maupun karat/kerak yang
menempel pada benda-benda tersebut. Yang dimaksud benda-benda pusaka tidak
hanya berupa senjata seperti keris atau tombak bisa juga benda-benda lain yang
dianggap mempunyai nilai tinggi(non-materi)/bersejarah oleh pihak keraton.
Tetapi pada umumnya prosesi jamasan didominasi berupa tombak dan
keris. Kenapa dibersihkan???karena sebetulnya didalam keris terdapat
nilai seni yang sangat indah, yaitu pamor. Atau secara awam dapat dikatakan
ukiran-ukiran yang terbentuk di batang besi keris. Pamor keris ini biasanya
akan terlihat lebih mengesankan jika setelah dibersihkan.(pengalaman pribadi
dari koleksi keris yang dimiliki ayahanda, akan terlihat nilai seni dari pamor
setelah dijamasi). Selain itu, kenapa dibersihkan?karena benda-benda tersebut
merupakan peninggalan leluhur yang senantiasa akan selalu dikenang untuk
generasi berikutnya sehingga perlu dirawat dan perawatannya pun perlu dengan
metode khusus atau tidak setiap saat, dikarenakan benda-benda tersebut sudah
berusia puluhan tahun bahkan mungkin sudah ratusan tahun. Perlakuan dan
perawatan secara khusus biasanya memang lazim untuk benda-benda yang masuk
kategori kuno apapun itu bentuknya (fosil, karya-karya sastra, lukisan, kitab
suci dll).
Secara maknawi prosesi
jamasan pusaka dalam hal ini keris, sebetulnya merupakan penggambaran
pembersihan jiwa dari seorang manusia. Diibaratkan warangka keris (wadah)
merupakan badan/wadag manusia sedangkan bilah keris merupakan jiwa. prosesi
jamasan ini mengingatkan kita untuk senantiasa melakukan pembersihan ruhani
dengan berbagai kegiatan keagamaan yang kita yakini masing-masing. Sehingga
kegiatan ini mendorong kita untuk selalu dekat dengan Sang Khalik, dengan
demikian semakin dekat kita kepada Sang Khalik akan memudahkan kita untuk
mendengarkan hati nurani/hati sanubari kita. Hal inilah yang senantiasa membuat
jiwa manusia diliputi nur illahiah sehingga menghasilkan budi luhur (akhlaqul
karimah) dan ini akan tercermin dalam polah/tindak-tanduk/perilaku yang
dihasilkan oleh tubuh/badan/wadag seorang manusia. Dalam istilah jawa dikenal
dengan istilah Curiga Manjing Warangka (jiwa yang berada didalam
badan jasmani). Sehingga kegiatan jamasan pusaka ini diharapkan dapat
memotivasi masyarakat, untuk melakukan “jamasan” bagi dirinya sendiri dan
inilah “berkah” yang diharapkan, bukan untuk datang dan memperebutkan air sisa
jamasan pusaka dengan harapan akan menjadi berkah, apalagi
jimat(istighfar...istighfar..eling-eling..sedaya daya lan kekiyatan punika
namung Kagunganipun Gusti Allah..La Haula Wala Quwwata Illa Billah..).
3. Gunungan
Prosesi gunungan biasanya ditemui
pada acara Sekatenan yang diselenggarakan oleh Keraton Kasultanan
Yogyakarta maupun Keraton Kasunanan Surakarta. Prosesi gunungan dikenal dengan
acara Grebeg Maulud. Acara sekaten yang ada di Surakarta dan Yogyakarta
merupakan peninggalan dari zaman Kerajaan Demak. Pada awalnya acara sekaten
diselenggarakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, oleh Sunan
Kalijaga kegiatan pesta rakyat tersebut disisipi dengan kegiatan syi’ar yaitu
menarik rakyat Demak yang belum memeluk Islam untuk di ajak bergabung masuk
Islam. Kegiatan tersebut dikenal dengan Syahadatain yang dilaksanakan
saat Maulid Nabi Muhammad SAW. Seiring dengan berjalannya waktu acaraSyahadatain ini
dikenal dengan Sekaten seperti yang kita kenal saat ini.
Puncak dari acara Sekaten saat
ini adalah ditandai dengan Prosesi Grebeg Maulud. Yaitu dikeluarkannya dua
gunungan (beragam sayur-mayur dan makanan yang disusun berbentuk kerucut
seperti gunung). Gunungan tersebut terdiri dari 2 buah gunungan yaitu Gunungan
Jaler (laki-laki) dan Gunungan Estri (perempuan). Gunungan-gunungan tersebut
disiapkan oleh pihak Keraton, prosesi Gunungan biasanya ditandai dengan
dikeluarkannya gunungan-gunungan tersebut dari dalam Keraton yang dikawal oleh
sejumlah prajurit Keraton untuk dibawa ke Masjid Agung. Setelah gunungan
–gunungan tersebut di do’akan oleh ulama-ulama Keraton, selanjutnya Gunungan
Jaler akan dibawa ke alun-alun untuk diberikan kepada masyarakat sedangkan
Gunungan Estri akan dibawa masuk ke dalam Keraton untuk dibagikan kepada
abdi-abdi dalem Keraton. Ketika gunungan Jaler dibagikan kepada masyarakat,
biasanya masyarakat akan saling berebut, saling berlomba, saling tarik menarik
hanya untuk mendapatkan isi dari gunungan tersebut. Fenomena yang sama juga
kita jumpai pada gunungan estri yang dibagikan pada abdi dalem Keraton. Para
abdi dalem Keraton pun akan melakukan hal yang serupa yaitu memperebutkan isi
dari gunungan karena diyakini akan membawa berkah bahkan tidak sedikit
dijadikan jimat untuk keselamatan maupun kesuburan
tanah/ladang.(hadew....seneng banget sih kalo rebutan nih sebagian
masyarakat..hehehehehe)
Sangat disayangkan suatu kegiatan
yang pada mulanya diciptakan untuk suatu tujuan yang mulia, namun saat ini
hanya berupa kegiatan yang bersifat rutinitas, bahkan cenderung disalah artikan
terutama pemahaman akan “berkah” yang diyakini sebagian masyarakat kita.
Gunungan merupakan penggambaran ucapan syukur oleh pihak Keraton karena telah
menyelenggarakan serangkaian acara pesta rakyat yang bertujuan untuk memperingati
Maulid Nabi Muhammad SAW. Gunungan yang berbentuk kerucut/mbujung seperti
tumpeng yang mempunyai makna mengejar untuk mencapai tingkatan yang paling
tinggi di dalam hidup yaitu tingkat kehidupan keIllahian, dengan berbekal
segala potensi hidup (potensi alami) yang dilambangkan dengan uborampe makanan
yang berupa sayur mayur sebagai isi/penyusun dari Gunungan tersebut.
Gunungan-gunungan yang dibuat oleh pihak Keraton sebetulnya merupakan wujud
shodaqoh (sedekah) yang diberikan kepada masyarakatnya dan para abdi dalem,
dalam bentuk makanan atau sayur-mayur. Sehingga berkah yang didapatkan yaitu,
jika makan-makanan tersebut dimakan atau sayur-mayur tersebut diolah dan
menjadikan perut kenyang. Bukan untuk disimpan dijadikan jimat atau apapun lainnya
yang sifatnya mengharap akan adanya kekuatan dari makan/makanan atau sayur yang
didapat dari gunungan-gunungan tersebut.
4. Peletakan
Bunga Mawar/setaman di museum
Dibeberapa museum di Indonesia
khusunya di Jawa kita sering melihat adanya peletakan bunga mawar/setaman pada
beberapa koleksi museum. Sehingga hal ini sering dianggap bahwasanya bunga
setaman yang diletakkan tersebut merupakan sajen/sesaji terhadap danyang atau
lelembut atau makhluk ghaib yang mendiami pada koleksi-koleksi yang ada di
museum. Tentu hal ini tidak benar, penanganan terhadap benda-benda yang
mempunyai usia ratusan tahun dibutuhkan penanganan yang khusus. Selain
penanganan yang hati-hati, tentu penggunaan bahan-bahan alami akan menjadi
pilihan. Pemberian bunga setaman dimaksudkan sebagai pewangi alami yang didapat
dari bunga-bunga segar. Sebagai contoh pada museum batik yang terdapat di
Ndalem Wuryoningratan (Museum Batik Danar Hadi), menurut kurator museum
penggunaan pewangi memang dipilih dari bunga setaman bukan dari pewangi
sintetis atau yang beredar di pasaran. Hal ini dikarenakan, pewangi sintetis
ditakutkan akan merusak dari serat kain batik yang telah berusia ratusan tahun
yang menjadi koleksi mereka.
5. Sedekah
Sedekah diyakini berasal dari
kata Shodaqoh. Ada yang mengatakan budaya sedekah ini mulai dibudayakan
oleh Sunan Kalijaga. Sedekah mulai diperkenalkan ke masyarakat jawa saat itu,
dikarenakan adanya kebiasaan masyarakat Jawa saat itu yang gemar memberikan
sesaji / sajen. Maka dari itu, kebiasaan untuk mengeluarkan sebagian harta yang
dimiliki dalam bentuk sajen diubah oleh Sunan Kalijaga dalam bentuk sedekah
yang diperuntukkan untuk sesama agar lebih bermanfaat dan Islami. Sedekah bumi
dan sedekah laut adalah 2 kegiatan budaya yang sering kita jumpai hingga saat
ini. Sedekah bumi biasanya dilakukan di daerah yang memiliki pertanian yang
subur, dikarenakan memang yang menjadi ubarampe sedekah terdiri dari hasil
pertanian yang mereka peroleh. Sedekah bumi biasanya dilakukan setelah panen
raya, kegiatan ini ditujukan untuk mensyukuri atas hasil yang diperoleh.
Sedangkan sedekah laut biasanya dilakukan oleh masyarakat nelayan yang sumber
mata pencaharian diperoleh dari laut. Oleh Sunan Kalijaga, 2 kegiatan tersebut
dilakukan untuk merubah persepsi dan kebiasaan masyarakat saat itu, yaitu
masyarakat di pedesaan sering memberikan sesaji guna memohon pada Dewi Sri
(Dewi Kesuburan), agar melindungi sawah mereka terhindar dari gangguan danyang/
roh halus yang berniat mengganggu. Sedangkan di masyarakat nelayan sering
memberikan sajen kepada Penguasa Laut agar tidak mendapatkan gangguan di laut
selama berlayar dan mencari ikan.
Namun fenomena yang ada saat ini,
sedekah bumi dan sedekah laut justru kembali kepada pemahaman lama. Seringkali
dalam kegiatan sedekah bumi ditambahi dengan sesaji/sesajen yang ditanam
didalam sawah/ladang mereka. Begitu juga dengan sedekah laut, sering diiringi
dengan pemberian sesaji/sajen yang dilarung ke laut. Hal inilah yang
dianggap sebagian masyarakat sebagai klenik/mistis, suatu kegiatan budaya yang
seharusnya mempunyai tujuan yang mulia yaitu mensyukuri hasil yang diperoleh
kepada Sang Khalik dan berbagi bersama terhadap yang kurang mampu, namun saat
ini cenderung menuju ke kegiatan yang bersifat irrasional dan
menghambur-hamburkan hasil yang diperoleh dengan cara saling diperebutkan serta
ditujukan kepada selain Dzat Tunggal. Seyogyanya sedekah harus dikembalikan
kepada pemahaman semula yaitu kurang lebih seperti makna shodaqoh, prosesinya
boleh sama karena semua itu merupakan kegiatan budaya yang perlu dilestarikan.
Tetapi semua uborampe tidak ditujukan kepada hal-hal yang bersifat
mistis/klenik dengan cara tidak ditanam atau dilarung, melainkan semua uborampe
dinikmati bersama, atau dibagikan kepada yang kurang mampu. Hal yang
demikian tentu sejalan dengan konsep shodaqoh dan pasti lebih diterima oleh
sebagian besar masyarakat, karena lebih rasional dan mempunyai manfaat.
Tentu masih banyak kearifan lokal
Wong Jawa yang belum diungkap, contoh diatas hanyalah sebagian kecil dan masih
banyak kearifan lokal Wong Jawa yang disalah artikan sehingga menimbulkan kesan
klenik/mistis dan irrasional. Hal ini pula yang sekiranya menjadi kritikan bagi
Keraton selaku pemangku adat saat ini, sosialisasi/penjelasan mengenai kegiatan
kebudayaan yang penuh makna seperti beberapa hal diatas harus dilakukan.
Tujuannya agar tidak terjadi pemahaman yang salah kaprah oleh masyarakat dalam
memaknai kegiatan budaya. Selain itu, penjelasan yang rasional terhadap
kegiatan budaya yang ada, dapat menepis anggapan jika kegiatan budaya yang
dihasilkan /peninggalan Keraton merupakan hal-hal yang tidak bermakna dan
cenderung menyimpang dari agama maupun logika manusia. Mungkin Keraton sudah
bukan lagi sebagai pusat pemerintahan dan pusat agama tetapi tugas
dan fungsi Keraton sebagai pusat kebudayaan dan pusat pendidikan masih tetap
ada, dan menjadi rujukan bagi kegiatan-kegiatan budaya yang dihasilkan oleh para
leluhur. Kalau hal ini dibiarkan, semakin lama jarak antara kegiatan-kegiatan
budaya dan agama akan semakin renggang dan cenderung terjadi sikap antipati
satu dengan yang lainnya. Belum lagi dengan perkembangan generasi muda saat
ini, dengan gencarnya budaya asing yang masuk melalui berbagai
media. Lambat laun kegiatan-kegiatan budaya ini akan hilang ditelan zaman.
Menurut hemat saya prosesinya dari setiap kegiatan budaya tidak begitu masalah
jika hilang, tetapi sangat disayangkan jika nilai-nilai yang dihasilkan yang
penuh makna (intangible heritage) dari kegiatan-kegiatan tersebut hilang dan
tidak terwariskan kepada generasi kita berikutnya.
Salam Budaya
Inspirasi tulisan diperoleh dari
:
Penjelasan Kanjeng Gusti Pangeran
Haryo Dipokusumo, budayawan Kota Surakarta saat Proses Karantina Pemilihan
Putra-Putri Solo.
Wejangan Kanjeng Pangeran
Yogiswara Suryadiningrat (Drs.Moch.Ngemron,M.Psi.) budayawan dan Dosen
Filsafat, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Tag :
Kearifan lokal,
Sejarah
0 Komentar untuk "KEARIFAN LOKAL WONG JAWA YANG SERINGKALI DISALAH ARTIKAN"