WALI SONGO UTUSAN KHALIFAH
Bisa dikatakan tak akan ada Islam di Indonesia tanpa peran khilafah. Orang
sering mengatakan bahwa Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa disebarkan
oleh Walisongo. Tapi tak banyak orang tahu, siapa sebenarnya Walisongo itu? Dari mana mereka berasal? Tidak mungkin to mereka tiba-tiba ada, seolah
turun dari langit?
Dalam kitab Kanzul ‘Hum yang ditulis oleh Ibn Bathuthah yang kini tersimpan
di Museum Istana Turki di Istanbul, disebutkan bahwa Walisongo dikirim oleh
Sultan Muhammad I. Awalnya, ia pada tahun 1404 M (808 H) mengirim surat kepada
pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta dikirim sejumlah
ulama yang memiliki kemampuan di berbagai bidang untuk diberangkatkan ke pulau
Jawa.
Jadi, Walisongo sesungguhnya adalah para dai atau ulama yang diutus khalifah di
masa Kekhilafahan Utsmani untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Dan jumlahnya
ternyata tidak hanya sembilan (Songo). Ada 6 angkatan yang masing-masing
jumlahnya sekitar sembilan orang. Memang awalnya dimulai oleh angkatan I yang
dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, pada tahun 1400 an. Ia
yang ahli politik dan irigasi itu menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di
Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara. Seangkatan dengannya, ada dua wali dari Palestina yang berdakwah di Banten.
Yaitu Maulana
Hasanudin, kakek Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Aliudin. Jadi, masyarakat Banten sesungguhnya punya hubungan biologis dan ideologis
dengan Palestina.
Lalu ada Syekh Ja’far Shadiq dan Syarif Hidayatullah yang di sini lebih dikenal
dengan sebutan Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Keduanya juga berasal dari
Palestina. Sunan Kudus mendirikan sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang
kemudian disebut Kudus – berasal dari kata al Quds (Jerusalem).
Dari para wali itulah kemudian Islam menyebar ke mana-mana hingga seperti yang
kita lihat sekarang. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau ada dari umat Islam
sekarang yang menolak khilafah. Itu sama artinya ia menolak sejarahnya sendiri,
padahal nenek moyangnya mengenal Islam tak lain dari para ulama yang diutus
oleh para khalifah.
Islam masuk ke Indonesia
pada abad 7M (abad 1H), jauh sebelum penjajah datang. Islam terus berkembang
dan mempengaruhi situasi politik ketika itu. Berdirilah kesultanan-kesultanan
Islam seperti di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi kesultanan
Peureulak (didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M),
Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang; Ternate, Tidore dan Bacan di Maluku
(Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440); Kesultanan
Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan
Kutai di Kalimantan.
Adapun kesultanan di Jawa antara lain: kesultanan Demak, Pajang, Cirebon dan
Banten. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo,
Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara penerapan Islam di
sana dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima. Setelah Islam berkembang dan
menjelma menjadi sebuah institusi maka hukum-hukum Islam diterapkan secara
menyeluruh dan sistemik dalam kesultanan-kesultanan tersebut.
PERIODE DAKWAH WALI SONGO
Kita sudah mengetahui bahwa mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata
pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal
dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir,
Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki,
Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, dan Syekh
Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di
Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa Samudra Pasai antara
tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke
Tanah Jawa.
Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang
tiga da’i ulama ke Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali
Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim
Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far
Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina
cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati).
Mulai tahun 1463M makin banyak da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i
yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra
Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan;
Raden Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban; Raden Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang); dan Raden Qasim Dua (Sunan Drajad) putra Sunan Ampel
dengan Dewi Condrowati, putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit.
Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di
kalangan para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur
di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah
kesultanan tinggal tunggu waktu.
Hubungan tersebut juga nampak antara Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah. Bernard
Lewis menyebutkan bahwa pada tahun 1563M, penguasa Muslim di Aceh mengirim
seorang utusan ke Istambul untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil
meyakinkan bahwa sejumlah raja di kawasan tersebut telah bersedia masuk agama
Islam jika kekhalifahan Utsmaniyah mau menolong mereka.
Saat itu kekhalifahan Utsmaniyah sedang disibukkan dengan berbagai masalah yang
mendesak, yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria, dan kematian
Sultan Sulaiman Agung. Setelah tertunda selama dua bulan, mereka akhirnya
membentuk sebuah armada yang terdiri dari 19 kapal perang dan sejumlah kapal
lainnya yang mengangkut persenjataan dan persediaan untuk membantu masyarakat
Aceh yang terkepung.
Namun, sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Banyak dari
kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas yang lebih mendesak yaitu memulihkan
dan memperluas kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Ada satu atau dua kapal yang tiba
di Aceh. Kapal-kapal tersebut selain membawa pembuat senjata, penembak, dan
teknisi juga membawa senjata dan peralatan perang lainnya, yang langsung
digunakan oleh penguasa setempat untuk mengusir Portugis. Peristiwa ini dapat
diketahui dalam berbagai arsip dokumen negara Turki.
Hubungan ini nampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan
diantaranya Abdul Qadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048 H (1638 M)
dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid,
Syarif Mekkah saat itu. Demikian pula Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram
memperoleh gelar Sultan dari Syarif Mekah tahun 1051 H (1641 M ) dengan gelar
Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. Pada tahun 1638 M, sultan Abdul
Kadir Banten berhasil mengirim utusan membawa misi menghadap syarif Zaid di Mekah.
Hasil misi ke Mekah ini sangat sukses, sehingga dapat dikatakan kesultanan
Banten sejak awal memang meganggap dirinya sebagai kerajaan Islam, dan tentunya
termasuk Dar al-Islam yang ada di bawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di
Istanbul. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar sultan dari Syarif mekah.
Hubungan erat ini nampak juga dalam bantuan militer yang diberikan oleh
Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri
disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata
disertai instruktur yang mengajari cara pemakaiannya dari Khilafah Turki
Utsmani (1300-1922).
Bernard Lewis (2004) menyebutkan bahwa pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh
mengirim seorang utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan melawan Portugis.
Dikirimlah 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya pengangkut persenjataan
dan persediaan; sekalipun hanya satu atau dua kapal yang tiba di Aceh.
Tahun 1652 kesultanan
Aceh mengirim utusan ke Khilafah Turki Utsmani untuk meminta bantuan meriam.
Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan orang Turki beserta sejumlah
besar alat tembak (meriam) dan amunisi. Tahun 1567, Sultan Salim II mengirim
sebuah armada ke Sumatera, meski armada itu lalu dialihkan ke Yaman. Bahkan
Snouck Hourgroye menyatakan, “Di Kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan
agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke
seluruh penduduk Muslimin di Indonesia.” Bahkan pada akhir
abad 20, Konsul Turki di Batavia membagi-bagikan al-Quran atas nama Sultan
Turki.
Di istambul juga dicetak tafsir al-Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf
Sinkili yang pada halaman depannya tertera “dicetak oleh Sultan Turki, raja
seluruh orang Islam”. Sultan Turki juga memberikan beasiswa kepada empat orang
anak keturunan Arab di Batavia untuk bersekolah di Turki.
Pada masa itu, yang disebut-sebut Sultan Turki tidak lain adalah Khalifah,
pemimpin Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Selain itu, Snouck
Hurgrounye sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer mengungkapkan bahwa rakyat
kebanyakan pada umumnya di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di
pelosok-pelosok yang jauh di penjuru tanah air, melihat stambol (Istambul,
kedudukan Khalifah Usmaniyah) masih senantiasa sebagai kedudukan seorang raja semua
orang mukmin yang kekuasaannya mungkin agaknya untuk sementara berkurang oleh
adanya kekuasaan orang-orang kafir, tetapi masih dan tetap [dipandang] sebagai
raja dari segala raja di dunia. Mereka juga berpikir bahwa “sultan-sultan yang
belum beragama mesti tunduk dan memberikan penghormatannya kepada khalifah.”
Demikianlah, dapat dikatakan bahwa Islam berkembang di Indonesia dengan adanya
hubungan dengan Khilafah Turki Utsmani.
Dengan demikian, keterkaitan Nusantara sebagai bagian dari Khilafah, baik saat
Khilafah Abbasiyah Mesir dan Khilafah Utsmaniyah telah nampak jelas pada
pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan
Samudra-Pasai Darussalam oleh Utusan Syarif Mekkah, dan pengangkatan Sultan
Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram
oleh Syarif Mekkah.
Dengan mengacu pada format sistem kehilafahan saat itu, Syarif Mekkah adalah
Gubernur (wali) pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk
kawasan Hijaz. Jadi, wali yang berkedudukan di Mekkah bukan semata
penganugerahan gelar melainkan pengukuhannya sebagai sultan. Sebab, sultan
artinya penguasa. Karenanya, penganugerahan gelar sultan oleh wali lebih
merupakan pengukuhan sebagai penguasa Islam. Sementara itu, kelihatan Aceh
memiliki hubungan langsung dengan pusat khilafah Utsmaniyah di Turki.
KESIMPULAN
Jumlah dai yang diutus ini tidak hanya sembilan (Songo). Bahkan ada 6 angkatan yang dikirimkan, masing-masing jumlanya sekitar sembilan orang. (Versi lain mengatakan 7 bahkan 10 angkatan karena dilanjutkan oleh anak / keturunannya)
Para Wali ini datang dimulai dari Maulana Malik Ibrahim, asli Turki. Beliau ini ahli politik & irigasi, wafat di Gresik.
- Maulana Malik Ibrahim ini menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara.
- Seangkatan dengan beliau ada 2 wali dari Palestina yg berdakwah di Banten; salah satunya Maulana Hasanudin, beliau kakek Sultan Ageng Tirtayasa.
- Juga Sultan Aliyudin, beliau dari Palestina dan tinggal di Banten. Jadi masyarakat Banten punya hubungan darah & ideologi dg Palestina.
- Juga Syaikh Ja'far Shadiq & Syarif Hidayatullah; dikenal disini sebagai Sunan Kudus & Sunan Gunung Jati; mereka berdua dari Palestina.
- Maka jangan heran, Sunan Kudus mendirikan Kota dengan nama Kudus, mengambil nama Al-Quds (Jerusalem) & Masjid al-Aqsha di dalamnya.
(Sumber Muhammad Jazir, seorang budayawan & sejarawan Jawa , Pak Muhammad Jazir ini juga penasehat Sultan Hamengkubuwono X).
Adapun menurut Berita yang tertulis di dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudiah dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghribi.
Sultan Muhammad I itu membentuk tim beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa dimulai pada tahun 1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara dari Turki.
Wali Songo Angkatan Ke-1, tahun 1404 M/808 H. Terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli ruqyah.
Wali Songo Angkatan ke-2, tahun 1436 M, terdiri dari :
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Maulana Hasanuddin, asal Palestina
8. Maulana 'Aliyuddin, asal Palestina
9. Syekh Subakir, asal Persia Iran.
Wali Songo Angkatan ke-3, 1463 M, terdiri dari:
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Wali Songo Angkatan ke-4,1473 M, terdiri dari :
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Wali Songo Angkatan ke-5,1478 M, terdiri dari :
1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Syaikh Siti Jenar, asal Persia, Iran
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Wali Songo Angkatan ke-6,1479 M, terdiri dari :
1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Tembayat, asal Pandanarang
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Syamsul Arifin, berbagai sumber
SELAMATKAN GENERASI MUSLIM DARI PEMBODOHAN DAN KEBOHONGAN SEJARAH !!!
Awal Masuk Islam di Indonesia
Sebelum kita mengenal beberapa teori tentang penyebaran Islam di Nusantara,
perlu di perhatikan bahwa Politik Luar Negeri Negara Khilafah terdiri dari dua;
Da’wah dan Jihad. Awalnya negeri yang di targetkan akan
di beri da’wah, ketika menerima maka tidak ada perang di sana. Namun, ketika
menolak, maka akan terjadi Jihad dan Futuhat (Pembebasan). Dua hal ini adalah
politik Luar Negeri, dimana di setiap perkembangan akan di sampaikan kepada
Khalifah.
Itu pula yang terjadi di Indonesia. Jika penyebaran Islam di lakukan oleh
pedagang semata, bukan Da’i atau utusan, maka apakah akan ada laporan kepada
Khalifah? Lalu, apakah penyebaran lewat jalur perdagangan merupakan Politik
Luar Negeri? Apakah penyebaran Islam dengan jalur perdagangan hanya propaganda
untuk menutupi bahwa Nusantara pernah menjadi fokus Da’wah Islam dan menjadi
bagian dari Khilafah?
Dari teori Islamisasi oleh Arab dan China, Hamka dalam bukunya Sejarah Umat
Islam Indonesia, mengaitkan dua teori Islamisasi tersebut. Islam datang ke
Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Penyebarannya pun bukan dilakukan oleh para
pedagang dari Persia atau India, melainkan dari Arab. Sumber versi ini banyak
ditemukan dalam literatur-literatur China yang terkenal, seperti buku sejarah
tentang China yang berjudul Chiu Thang Shu.
Menurut buku ini, orang-orang Ta Shih, sebutan bagi orang-orang Arab, pernah
mengadakan kunjungan diplomatik ke China pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah.
Empat tahun kemudian, dinasti yang sama menerima delegasi dari Tan Mi Mo Ni’,
sebutan untuk Amirul Mukminin. Selanjutnya, buku itu menyebutkan, bahwa
delegasi Tan Mi Mo Ni’ itu merupakan utusan yang dikirim oleh khalifah yang
ketiga. Ini berarti bahwa Amirul Mukminin yang dimaksud adalah Khalifah Utsman
bin Affan.
Pada masa berikutnya, delegasi-delegasi muslim yang dikirim ke China semakin
bertambah. Pada masa Khilafah Umayyah saja, terdapat sebanyak 17 delegasi yang
datang ke China. Kemudian
pada masa Dinasti Abbasiyah, ada sekitar 18 delegasi yang pernah dikirim ke
China.
Bahkan pada pertengahan abad ke-7 Masehi, sudah terdapat
perkampungan-perkampungan muslim di daerah Kanton dan Kanfu. Sumber tentang
versi ini juga dapat diperoleh dari catatan-catatan para peziarah Budha-China
yang sedang berkunjung ke India. Mereka biasanya menumpang kapal orang-orang
Arab yang kerap melakukan kunjungan ke China sejak abad ketujuh. Tentu saja,
untuk sampai ke daerah tujuan, kapal-kapal itu melewati jalur pelayaran
Nusantara.
Beberapa catatan lain menyebutkan, delegasi-delegasi yang dikirim China itu
sempat mengunjungi Zabaj atau Sribuza, sebutan lain dari Sriwijaya. Mereka
umumnya mengenal kebudayaan Budha Sriwijaya yang sangat dikenal pada masa itu.
Kunjungan ini dikisahkan oleh Ibnu Abd al-Rabbih, ia menyebutkan bahwa sejak
tahun 100 hijriah atau 718 Masehi, sudah terjalin hubungan diplomatik yang
cukup baik antara Raja Sriwijaya, Sri Indravarman dengan Khalifah Umar Ibnu
Abdul Aziz.
Lebih jauh, dalam literatur China itu disebutkan bahwa perjalanan para delegasi
itu tidak hanya terbatas di Sumatera saja, tetapi sampai pula ke daerah-daerah
di Pulau Jawa. Pada tahun 674-675 Masehi, orang-orang Ta Shi (Arab) yang
dikirim ke China itu meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa. Menurut sumber ini,
mereka berkunjung untuk mengadakan pengamatan terhadap Ratu Shima, penguasa
Kerajaan Kalingga, yang terkenal sangat adil itu.
Pada periode berikutnya, proses Islamisasi di Jawa dilanjutkan oleh Wali Songo.
Mereka adalah para muballig yang paling berjasa dalam mengislamkan masyarakat
Jawa. Dalam Babad Tanah Djawi disebutkan, para Wali Songo itu masing-masing
memiliki tugas untuk menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Jawa melalui tiga
wilayah penting. Wilayah
pertama adalah, Surabaya, Gresik, dan Lamongan di Jawa Timur.
Wilayah kedua adalah, Demak, Kudus, dan Muria di Jawa Tengah. Dan wilayah
ketiga adalah, Cirebon di Jawa Barat. Dalam berdakwah, para Wali Songo itu
menggunakan jalur-jalur tradisi yang sudah dikenal oleh orang-orang Indonesia
kuno. Yakni melekatkan nilai-nilai Islam pada praktik dan
kebiasaan tradisi setempat. Dengan demikian, tampak bahwa ajaran Islam sangat
luwes, mudah dan memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa.
Selain berdakwah dengan tradisi, para Wali Songo itu juga mendirikan
pesantren-pesantren, yang digunakan sebagai tempat untuk menelaah ajaran-ajaran
Islam, sekaligus sebagai tempat pengaderan para santri. Pesantren Ampel Denta
dan Giri Kedanton, adalah dua lembaga pendidikan yang paling penting di masa
itu. Bahkan dalam pesantren Giri di Gresik, Jawa Timur itu, Sunan Giri telah
berhasil mendidik ribuan santri yang kemudian dikirim ke beberapa daerah di
Nusa Tenggara dan wilayah Indonesia Timur lainnya.
Penjajah Belanda Menghapuskan Jejak Khilafah
Pada masa penjajahan, Belanda berupaya menghapuskan penerapan syariah Islam
oleh hampir seluruh kesultanan Islam di Indonesia. Salah satu langkah penting
yang dilakukan Belanda adalah menyusupkan pemikiran dan politik sekular melalui
Snouck Hurgronye. Dia menyatakan dengan tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah
Islam sebagai agama.
Dari pandangan Snouck tersebut penjajah Belanda kemudian berupaya melemahkan
dan menghancurkan Islam dengan 3 cara. Pertama: memberangus politik dan
institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah kesultanan Islam. Contohnya
adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Islam Banten
langsung diserang dan dihancurkan. Seluruh penerapan Islam dicabut, lalu
diganti dengan peraturan kolonial.
Kedua: melalui kerjasama raja/sultan dengan penjajah Belanda. Hal ini tampak di
Kerajaan Islam Demak. Pelaksanaan syariah Islam bergantung pada sikap
sultannya. Di Kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak
Kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.
Ketiga: dengan menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah
penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih
terkenal dengan kantor agama (penasihat pemerintah dalam masalah pribumi).
Kantor ini bertugas membuat ordonansi (UU) yang mengebiri dan menghancurkan
Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye.
Dikeluarkanlah: Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, yang dimaksudkan agar
politik tidak mencampuri urusan agama (sekularisasi); Ordonansi Pendidikan,
yang menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi; Ordonansi Guru
tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam memiliki izin; Ordonansi
Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923, yang merupakan percobaan untuk membunuh
sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar.
Demikianlah, syariah Islam mulai diganti oleh penjajah Belanda dengan
hukum-hukum sekular. Hukum-hukum sekular ini terus berlangsung hingga sekarang.
Walhasil, tidak salah jika dikatakan bahwa hukum-hukum yang berlaku di negeri
ini saat ini merupakan warisan dari penjajah; sesuatu yang justru seharusnya
dienyahkan oleh kaum Muslim, sebagaimana mereka dulu berhasil mengenyahkan sang
penjajah: Belanda
0 Komentar untuk "Mengungkap Jejak Wali Songo"