Nama Wali Songo
1.Sunan Gresik atau Maulana Malik
Ibrahim
2.Sunan Ampel atau
Raden Rahmat
3.Sunan Bonang
atau Raden Makhdum Ibrahim
4.Sunan Drajat
atau Raden Qasim
5.Sunan Kudus
atau Jaffar Shadiq
6.Sunan Giri
atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7.Sunan Kalijaga
atau Raden Said
8.Sunan Muria
atau Raden Umar Said
9.Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah
1.Ajaran Maulana Malik Ibrahim
Menurut setengah riwayat mengatakan, bahwa beliau
berasal dari Persia. Bahkan
dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim beripar dengan raja di negeri Cheermen.
Mengenai letak negeri Cheermen itu terletak di Hindustan, sedangkan ahli
sejarah yang lain mengatakan bahwa letaknya Cheermen adalah di Indonesia.
Adapun mengenai
nama kedua orang tuanya, kapan beliau dilahirkan serta dimana, dalam hal ini
belum diketahui dengan pasti. ada yang mengatakan bahwa beliau berasal dari
Kasyan (Persia). Bilamana beliau meninggal dunia ? Kalau ditilik dari batu
nisan yang terdapat pada makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, dekat Surabaya
terukir sebagai tahun meninggalnya 882 H, atau tahun 1419 M.
Maulana Malik Ibrahim mulai menyiarkan agama Islam
di tanah Jawa didaerah Jawa Timur. Dari sanalah dia memulai menyingsingkan
lengan bajunya, berjuang untuk mengembangkan agama Islam.Adapun caranya pertama-tama ialah dengan jalam
mendekati pergaulan dengan anak negeri. Dengan budi bahasa yang ramah tamah serta
ketinggian akhlak, sebagaimana diajarkan oleh Islam,
hal itu senantiasa diperlihatkannya didalam pergaulan sehari-hari.
Beliau tidak menentang secara tajam kepada
agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli. Begitu pula beliau tidak
menentang secara spontan terhadap adat istiadat yang ada serta berlaku dalam
masyarakat kita yang masih memeluk agama Hindu dan Buddha itu, melainkan beliau
hanya memperlihatkan kaindahan dan ketinggian ajaran-ajaran dan didikan yang
dibawa oleh Islam. Berkat keramah tamahannya serta budi bahasa dan pergaulannya
yang sopan santun itulah, banyak anak negeri yang tertarik masuk ke dalam agama
Islam.
2.Raden Rahmat (Sunan Ampel)
Sunan Ampel pada masa kecilnya menurut Babad Tanah
Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, bernama Raden Rahmat, lahir pada tahun 1401 di
Champa. Nama Ampel
sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah
Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya ( kota
Wonokromo sekarang)
Banyak riwayat
yang menjelaskan bahwa Raden Rahmat adalah putra Maulana Malik Ibrahim. Menurut
beberapa riwayat, nama Maulana Malik Ibrahim juga dikenal sebagai Ibrahim
Asmarakandi yang berasal dari Champa dan menjadi raja di sana. Ibrahim
Asmarakandi.
Sunan Ampel
memiliki silsilah hingga sampai ke Nabi Muhammad SAW, yaitu :
* Sunan Ampel @ Raden Rahmat @ Sayyid Ahmad Rahmatillah bin * Maulana Malik
Ibrahim @ Ibrahim Asmoro bin * Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Khan bin
* Ahmad Jalaludin Khan bin* Abdullah Khan bin * Abdul Malik Al-Muhajir
(Nasrabad,India) bin * Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin *
Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut) * Ali Kholi' Qosam bin * Alawi
Ats-Tsani bin * Muhammad Sohibus Saumi'ah bin * Alawi Awwal bin *
Ubaidullah bin * Ahmad al-Muhajir bin * Isa Ar-Rumi bin * Muhammad
An-Naqib bin * Ali Uraidhi bin * Ja'far ash-Shadiq bin *
Muhammad al-Baqir bin * Ali Zainal Abidin bin * Imam Husain bin * Ali bin
Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra bin Muhammad.
Jadi, Sunan
Ampel memiliki darah Uzbekistan dan Champa dari sebelah ibu. Tetapi dari ayah
leluhur mereka adalah keturunan langsung dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut.
Bermakna mereka termasuk keluarga besar Saadah BaAlawi.
Sunan Ampel
sebagai sunan yang “dituakan” di antara delapan Wali Songo lainnya, menjadi
Surabaya sebagai pangkal kegiatan ziarah “Wali Songo”. Dan sudah umum, sebelum
melakukan ziarah ke makam-makam Wali Songo, Masjid Agung Ampel dan makam Sunan
Ampel dijadikan tempat start. Dari sini baru kemudian menuju ke Gresik,
Lamongan, Tuban, Gunung Muria, Kudus, Demak dan finish di Cirebon.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya,
ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah
dan ibadah. Dia-lah yang
mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh
madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak
mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel
diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat
Masjid Ampel, Surabaya.
3.Raden Makhdum
Ibrahim (Sunan Bonang)
Beliau adalah
putera dari Sunan Ampel dalam perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, seorang
putera dari Arya Teja, salam seorang Tumenggung dari kerajaan Majapahit yang
berkuasa di Tuban. menurut dugaan Sunan Bonang dilahirkan dalam tahun 1465 M,
serta wafat pada tahun 1525 M.
Maulana Makhdum
Ibrahim, semasa hidupnya dengan gigih giat sekali menyebarkan agama Islam di
daerah Jawa Timur, terutama di daerah Tuban dan sekitarnya. sebagaimana halnya
ayahnya, maka Sunan Bonang pun mendirikan pondok pesantran di daerah Tuban
untuk mendidik serta menggembleng kader-kader Islam yang akan ikut menyiarkan
agama Islam ke seluruh tanah Jawa. konon beliaulah yang menciptakan gending
Dharma serta berusaha mengganti nama-nama hari nahas/sial menurut kepercayaan
Hindu, dan nama-nama dewa Hindu diganti dengan nama-nama malaikat serta
nabi-nabi. Hal mana dimaksudkan untuk lebih mendekati hari rakyat guna diajak masuk
agama Islam.
Karya dan Ajaran
Karya Sunan
Bonang, puisi dan prosa, cukup banyak. Di antaranya sebagaimana disebut B
Schrieke (1913), Purbatjaraka (1938), Pigeaud (1967), Drewes (1954, 1968 dan
1978) ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Regok, Suluk Bentur, Suluk
Wasiyat, Suluk Ing Aewuh, Suluk Pipiringan, Suluk Jebeng dan lain-lain.
Satu-satunya karangan prosanya yang dijumpai ialah Wejangan Seh Bari. Risalah
tasawufnya yang ditulis dalam bentuk dialog antara guru tasawuf dan muridnya
ini telah ditranskripsi, mula-mula oleh Schrieke dalam buku Het Boek van Bonang
(1913) disertai pembahasan dan terjemahan dalam bahasa Belanda, kemudian
disunting lagi oleh Drewes dan disertai terjemahan dalam bahasa Inggris
yakni The Admonition of Seh Bari (1969).
Dalam Suluk
Wujil, yang memuat ajaran Sunan Bonang kepada Wujil pelawak cebol terpelajar
dari Majapahit yang berkat asuhan Sunan Bonang memeluk agama Islam sang — wali
bertutur:
Jangan terlalu
jauh mencari keindahan
Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yang terjadi di sekitarmu
Adalah akibat perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau harus mengenal yang tidak dapat binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga pada akhirnya mencapai TuhanSebab itu, Wujil! Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yang mengenal diri
Nafsunya terkendali
Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yang terjadi di sekitarmu
Adalah akibat perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau harus mengenal yang tidak dapat binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga pada akhirnya mencapai TuhanSebab itu, Wujil! Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yang mengenal diri
Nafsunya terkendali
Kelemahan
dirinya akan tampak
Dan dapat memperbaikinya
Dan dapat memperbaikinya
Dengan
menyatakan `jagat terbentang dalam diri` Sunan Bonang ingin menyatakan betapa
pentingnya manusia memperhatikan potensi kerohaniannya. Adalah yang spiritual
yang menentukan yang material, bukan sebaliknya. Tetapi karena pikiran manusia
kacau, ia menyangka yang material semata-mata yang menentukan hidupnya. Karena
potensi kerohaiannya inilah manusia diangkat menjadi khalifah Tuhan di bumi.
Dalam Suluk Kaderesan, Sunan Bonang menulis:
Jangan
meninggikan diri
Berlindunglah kepada-Nya
Ketahuilah tempat sebenarnya jasad ialah roh
Jangan bertanya
Jangan memuja para nabi dan wali-wali
Jangan kau mengaku Tuhan.
Berlindunglah kepada-Nya
Ketahuilah tempat sebenarnya jasad ialah roh
Jangan bertanya
Jangan memuja para nabi dan wali-wali
Jangan kau mengaku Tuhan.
Dalam Suluk Ing Aewuh ia menyatakan:
Perkuat dirimu
dengan ikhtiar dan amal
Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia
Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan
Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul
Kau adalah pancaran kebenaran ilahi
Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.
Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia
Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan
Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul
Kau adalah pancaran kebenaran ilahi
Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.
Tamba Ati
Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur'an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe
Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur'an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe
Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat
akan dimakamkan, ada perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang, Tuban.
Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka, karena sang Sunan
sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tetapi, warga Tuban tidak mau terima.
Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke Bawean,
''mencuri'' jenazasangSunan.
Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.
Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.
4.Raden Qasim
(Sunan Drajat)
Nama kecilnya
Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan
Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada
tahun 1470 M
Sunan Drajat
mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik,
melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun
Jelog –pesisir Banjarwati
atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1
kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini
bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran
tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak
banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya
mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.
Maka ia
menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si
buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat
juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok
pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Jadi bilamana Sunan Drajat memberi contoh serta menganjurkan kepada
rakyat, agar memiliki jiwa sosial serta menganjurkan agar supaya rakyat suka
menolong para fakir dan miskin yang sedang mengalami penderitaan dan
kesempitan, maka hal itu adalah sesuai dengan tuntunan agama.
5.Jaffar Shadiq
(Sunan Kudus)
Sunan Kudus
dilahirkan dengan nama Jaffar Shadiq. Dia adalah putra dari pasangan Sunan
Ngudung, adalah panglima perang Kesultanan Demak Bintoro, dan Syarifah, adik
dari Sunan Bonang. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sunan Kudus
pernah menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, dan dalam masa
pemerintahan Sunan Prawoto, dia menjadi penasihat bagi Arya Penangsang. Selain
sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, Sunan Kudus juga menjabat sebagai
hakim pengadilan bagi Kesultanan Demak.
Dalam melakukan dakwah penyebaran Islam di Kudus, Sunan Kudus
menggunakan sapi sebagai sarana penarik masyarakat untuk datang untuk
mendengarkan dakwahnya. Sunan Kudus juga membangun Menara Kudus yang merupakan
gabungan kebudayaan Islam dan Hindu yang juga terdapat Masjid yang disebut
Masjid Menara Kudus.
Pada tahun 1530,
Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini
terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang.
Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus, Jawa
Tengah.Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat
untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk
menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan
memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak
ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.
6.Raden
Paku/Ainul Yaqin (Sunan Giri)
Kemudian
bersama-sama dengan Maulana Makdum Ibrahim, Raden Paku oleh Sunan Ampel di
suruh pergi haji ke Tanah Suci, sampai memperdalam ilmunya. Tetapi mereka
sebelum sampai di tanah suci singgah terlebihdahulu di Pasai (Aceh), untuk
menuntut ilmu kepada para ulama disana.
Adapun yang
imaksud ilmu di sini, adalah ilmu ke Tuhanan menurut ajaran tasawuf. Konon kabarnya memang banyak ulama-ulama keturunan India dan Persia
yang membuka pengajian di pasai di waktu itu. Bahkan banyak pula ulama-ulama
dari Malaka juga kadang-kadang datang bertanya tentang sesuatu masalah ke
Pasai. Sesudah kedua tunas muda itu selesai menuntut pelajaran di sana,
merekapun kembalilah ke tanah Jawa. Raden Paku berhasil mendapat "Ilmu
Laduni", sehingga gurunya di pasai memberinya nama "Ainul
Yaqin".
Raden Paku
sekembalinya di tanah Jawa mengajarkan agama Islam menurut bakatnya. Raden paku
atau Syekh Ainul Yaqin mengadakan tempat berkumpul yang boleh disebut pondok
pesantrennya di Giri. dimana murid-muridnya terdiri pada orang-orang kecil
(rakyat jelata).
Diantara
permainan kanak-kanak hasil ciptaan/gubahannya adalah rupa "jitungan"
atau "jelungan". Adapun caranya adalah begini :
Anak-anak
banyak, satu diantaranya menjadi "pemburu", lain-lainnya jadi
"buruan" mereka ini akan 'selamat' atau 'bebas' dari terkaman
'pemburunya', apabila telah berpegangan pada 'jitungan', yaitu satu pohon,
tiang atau tonggak yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Permainan dimaksudkan untuk mendidik pengertian tentang keselamatan
hidup, yaitu : bahwa
apabila sudah berpegangan kepada agama yang berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha
Esa sajalah, maka manusia (buruan) itu akan selamat dari terkaman iblis
(pemburunya). Di samping itu diajarkannya pula nyanyian-nyanyian untuk
kanak-kanak yang bersifat paedagogis serta berjiwa agama, Di antaranya adalah
berupa 'tembung dolanan bocah' (lagu permainan anak-anak), yang berbunyi
sebagai berikut :"Padang-padang
bulan, ayo gage da dolanan, dolanane naning latar, ngalap padang gilar-gilar,
nundang bagog hangatikar", yang dalam bahasa indonesianya kira-kira begini :
"Terang-terang
bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman, mengambil manfaat dari terang
benderang, mengusir gelap yang lari terbirit-birit".
Adapun maksud
dari tembang tersebut di atas itu adalah : Agama Islam (bulan) telah
datang memberi penerangan hidup, maka marilah segera orang menuntut
penghidupan (dolanan, bermain) di bumi ini (latar, halaman) akan mengambil
manfaat ilmu agama Islam (padang, gilar-gilar, terang benderang) itu, agar
sesat kebodohan diri (begog, gelap) segera terusir.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu
fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta
karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir
dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending
Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
Sesudah beliau
wafat, kemudian dimakamkan di atas bukit Giri (Gresik). Setelah Sunan Giri
meninggal dunia, berturut-turut digantikan oleh Sunan Delem, Sunan Sedam Margi,
Sunan Prapen.
7.Raden Said
(Sunan Kalijogo)
Raden.Mas Syahid
atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga., adalah putera dari
Ki Tumenggung Wilatika, bupati Tuban, ada pula yang mengatakan, bahwa nama
lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sabur Tumenggung Wilatika, dikatakan
dalam riwayat, bahwa dalam perkawinannya dengan Dewi Saroh Binti Maulana Ishak,
Sunan Kalijaga juga memperoleh 3 orang putera, masing-masing : .R. Umar Said
(Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Sunan Kalijaga,
namanya hingga kini masih tetap harum serta dikenang oleh seluruh lapisan
masyrakat dari yang atas sampai yang bawah. hal ini adalah merupakan suatu
bukti, bahwa beliau itu benar-benar manusia besar jiwanya, dan besar pula
jasanya. sebagai pujangga, telah banyak mengarang berbagai cerita yang
mengandung filsafat serta berjiwa agama, seni lukis yang bernafaskan Islam,
seni suara yang berjiwakan tauhid. disamping itu pula beliau berjasa pula bagi
perkembangan dari kehidupan wayang kulit yang ada sekarang ini.
Sungguh besar
jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya dalam lapangan seni suara
saja, akan tetapi juga meliputi seni drama (wayang kulit) seni gamelan, seni
lukis, seni pakaian, seni ukir, seni pahat. dan juga dalam lapangan
kesusastraan, banyak corak batik oleh sunan kalijaga (periode demak) diberi
motif "burung" di dalam beraneka macam. sebagai gambar ilustrasi,
perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan tetapi lebih indah lagi
dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi pekerti. di dalam bahasa
kawi, burung itu disebut "kukila" dan kata bahasa kawi ini jika dalam
bahasa arab adalah dari rangkaian kata : "quu" dan "qilla"
atau "quuqiila", yang artinya "peliharalah ucapan (mulut)-mu.
Hal mana
dimaksudkan bahwa kain pakaian yang bermotif kukila atau burung itu senantiasa
memperingatkan atau mendidik dan mengajar kepada kita, agar selalu baik tutur
katanya, inilah diantaranya jasa sunan kalijaga dalam hal seni lukis. Dalam
hubungan ini dibuatnya model baju kaum pria yang diberinya nama baju
"takwo", nama tersebut berasal berasal dari kata bahasa arab
"taqwa" yang artinya ta'at serta berbakti kepada Allah SWT.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam.
Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai
sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud,
Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa
Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan
Kalijaga.
Metode dakwah
tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui
Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan
di Kadilangu -selatan Demak
8.Raden Umar
Said (Sunan Muria)
Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar
Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah
putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngudung.
Ia putra Dewi
Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan
Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat
tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Gaya
berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda
dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan
jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya.
Sunan Muria
seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan
Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai
masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat
diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara,
Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu
hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.
9.Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati)
Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M,
namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448 M.
Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar
di Jawa bernama walisongo.
Banyak kisah tak
masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia
pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu
Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman.
Sunan Gunung
Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam
putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton
Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan
Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya,
yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama
Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama
Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan
Banten.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas.
Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa
jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama
putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke
Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah
Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89
tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah.
Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan
Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan
di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota
Cirebon dari arah barat.
0 Komentar untuk "PETUAH-PETUAH Wali Songo"