Nama Raden Kamandaka menjadi
legenda yang sangat melekat di masyarakat Banyumas dan sekitarnya,
sosok pangeran yang mempunyai nama asli Raden Banyak Cotro ini
konon adalah putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran.
Kedatangannya ke Kadipaten Pasir Luhur (sekarang Purwokerto) demi untuk
mendapatkan pendamping hidup (istri) yang raut wajahnya mirip dengan ibundanya.
Atas petunjuk gurunya Raden Banyak Cotrodiperintahkan meminang seorang
putri dari Kadipaten Pasir Luhur yang bernama Dewi Ciptoroso. Namun
ada beberapa syarat yang harus dilakukan dan dipenuhi oleh Banyak Cotro,
yaitu melepas dan menanggalkan semua pakaian kebesaran dari kerajaan, dengan
kata lain ia harus menyamar sebagai rakyat biasa dan berganti nama menjadi
"Raden Kamandaka".
Kisah
perjalanan asmara Raden Kamandaka dengan Dewi
Ciptoroso menemui banyak kendala. Berawal dari permintaan Dewi
Ciptoroso agar Raden Kamandaka menemuinya di taman kaputren pada
malam hari ternyata kehadirannya itu diketahui oleh prajurit yang kemudian
melaporkannya pada Sang Adipati yang tidak lain adalah orang tua Dewi
Ciptoroso dan berujung pada kemarahan sang
adipati. Beruntung Raden Kamandaka bisa lolos dari kepungan
prajurit. Namun, peristiwa itu menjadi awal perselisihannya dengan penguasa
Kadipaten Pasir Luhur yang terus berupaya untuk menangkapnya.
Pelarian Raden
Kamandaka dari kejaran prajurit Pasir Luhur berakhir setelah ia dapat
dilukai olehRaden Silihwarni yaitu seorang sakti yang mengabdi di
Pasir Luhur dan diperintahkan khusus untuk menangkap Raden Kamandaka.
Padahal Raden Silihwarni tidak lain adalah Raden Banyak
Ngampar putra Prabu Silihwangi dari Pajajaran yang sedang menyamar ke
Pasir Luhur guna mencari saudara tuanya yang telah lama meninggalkan Pajajaran.
Singkat cerita mereka pun akhirnya saling membuka jatidirinya. Dan demi menjaga
kepercayaan sang adipati Pasir Luhur terhadap Raden
Silihwarni. Diambilah hati dan darah anjing lalu menyerahkannya pada
Adipati Pasir Luhur dengan mengatakan bahwa Kamandaka berhasil dibunuhnya.
Raden
Kamandaka kemudian bertapa di dalam goa dan mendapat petunjuk, bahwa
niatnya untuk mempersunting Dewi Ciptoroso akan tercapai kalau ia
sudah mendapat pakaian "Lutung" dan untuk itu ia
disarankan menetap di Batur Agung tepatnya disebelah barat daya dari
Batur Raden. Dan di Batur Agung inilah Raden Kamandaka bertapa lalu
mendapatkan wahyu Lutung Kasarung. Demikian sepenggal
kisahKamandaka Lutung Kasarung yang diceritakan Ki Sobirin, juru
kunci Petilasan Batur Agung.
Petilasan
Batur Agung adalah salah satu Cagar Budaya yang berada di Dusun Pondok Lakah,
Desa Baseh, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas. Batur Agung merupakan obyek
wisata sejarah Banyumas. Di dalam areal petilasan Batur Agung tersebut masih
tersimpan rapi beragam benda purbakala peninggalan jaman dahulu antara lain
: arca semar, arca betara guru, arca betara narada, arca togok, arca
bawor, arca rorojonggrang, batu lumpang dan batu rebana. Petilasan Batur
Agung sendiri sebenarnya mirip dengan punden berundak yang lokasinya berada
ditengah-tengah rimbunan hutan pegunungan.
Menurut
sang juru kunci setempat, Batur adalah tempat,
sedangkan Agung bisa
berarti besar, tinggi atau mulia, jadi Batur Agung
adalah tempat yang besar, tinggi atau tempat yang mulia. Di
Batur Agung juga diyakini sebagai tempat dimana orang pertama kali hidup dan
tinggal di daerah tersebut, nama Batur Agung juga dipakai untuk menyebut tokoh
yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan Mbah Agung.
Batur
Agung ramai dikunjungi pada bulan Maulid, pada hari-hari biasa meski
tidak terlalu ramai, pengunjung pun tetap ada dan tidak berpatokan pada
hari-hari tertentu saja. Tak hanya masyarakat sekitar Banyumas saja yang
berziarah kesini melainkan banyak pengunjung dari kota-kota lain diluar
Banyumas tentunya dengan tata cara ritual sesuai dengan kepercayaan
masing-masing.
0 Komentar untuk "Batur Agung dan Sejarah Lutung Kasarung ( Raden Kamandaka )"