Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan sedikit dari peninggalan sejarah
kerajaan-kerajaan di Nusantara yang masih hidup hingga kini, dan masih
mempunyai pengaruh luas di kalangan rakyatnya.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi
yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755. Pemerintah
Hindia Belanda mengakui Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai kerajaan
dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak
politik. Kontrak politik terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941,
No. 47.
Berikut ini merupakan Sultan-sultan yang memerintah di Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat sejak awal didirikan hingga sekarang adalah :
1.
Sultan Hamengku Buwono I
Sultan Hamengku Buwono I (6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792) terlahir dengan
nama Raden Mas Sujana yang merupakan adik Susuhunan Mataram II Surakarta.
Sultan Hamengkubuwana I dalam sejarah terkenal sebagai Pangeran Mangkubumi pada
waktu sebelum naik tahta kerajaan Ngayogyakarta, beliau adalah putra Sunan
Prabu dan saudara muda Susuhunan Pakubuwana II. Karena berselisih dengan
Pakubuwana II, masalah suksesi, ia mulai menentang Pakubuwana II (1747) yang
mendapat dukungan Vereenigde Oost Indische Compagnie atau lebih terkenal sebagai Kompeni Belanda (perang
Perebutan Mahkota III di Mataram).
Dalam pertempurannya melawan kakaknya, Pangeran
Mangkubumi dengan bantuan panglimanya Raden Mas Said, terbukti sebagai ahli
siasat perang yang ulung, seperti ternyata dalam pertempuran-pertempuran di
Grobogan, Demak dan pada puncak kemenangannya dalam pertempuran di tepi Sungai
Bagawanta. Disana Panglima Belanda De Clerck bersama pasukannya dihancurkan
(1751). peristiwa lain yang penting menyebabkan Pangeran Mangkubumi tidak suka
berkompromi dengan Kompeni Belanda.
Pada tahun 1749 Susuhunan Pakubuwana II sebelum mangkat menyerahkan
kerajaan Mataram kepada Kompeni Belanda; Putra Mahkota dinobatkan oleh Kompeni
Belanda menjadi Susuhunan Pakubuwana III. Kemudian hari Raden Mas Said
bercekcok dengan Pangeran Mangkubumi dan akhirnya diberi kekuasaan tanah dan
mendapat gelar pangeran Mangkunegara.
Pangeran Mangkubumi tidak mengakui penyerahan Mataram kepada Kompeni
Belanda. Setelah pihak Belanda beberapa kali gagal mengajak Pangeran Mangkubumi
berunding menghentikan perang dikirimkan seorang Arab dari Batavia yang mengaku
ulama yang datang dari Tanah Suci. Berkat pembujuk ini akhirnya diadakan
perjanjian di Giyanti (sebelah timur kota Surakarta) antara Pangeran Mangkubumi
dan Kompeni Belanda serta Susuhunan Pakubuwana III (1755).
Menurut Perjanjian Giyanti itu kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, ialah
kerajaan Surakarta yang tetap dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwana III dan
kerajaan Ngayogyakarta dibawah Pangeran Mangkubumi diakui sebagai Sultan
Hamengkubuwana I yang bergelar Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama
Khalifatullah dengan karatonnya di Yogyakarta. Atas kehendak Sultan
Hamengkubuwana I kota Ngayogyakarta (Jogja menurut ucapan sekarang) dijadikan
ibukota kerajaan. Kecuali mendirikan istana baru, Hamengkubuwana I yang
berdarah seni mendirikan bangunan tempat bercengrama Taman Sari yang terletak
di sebelah barat istananya.
Kisah pembagian kerajaan
Mataram II ini dan peperangan antara pangeran-pangerannya merebut kekuasaan
digubah oleh Yasadipura menjadi karya sastra yang disebut Babad Giyanti. Sultan
Hamengkubuwana I dikenal oleh rakyatnya sebagai panglima, negarawan dan
pemimpin rakyat yang cakap. Beliau meninggal pada tahun 1792 Masehi dalam usia
tinggi dan dimakamkan Astana Kasuwargan di Imogiri. Putra Mahkota
menggantikannya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono II. Hamengkubuwana I
dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia pada peringatan Hari Pahlawan
pada 10 November 2006
2.
Sultan Hamengku Buwono II
Hamengkubuwono II (7 Maret
1750 – 2 Januari 1828) atau terkenal pula dengan nama lainnya Sultan Sepuh.
Dikenal sebagai penentang kekuasaan Belanda, antara lain menentang gubernur
jendral Daendels dan Raffles, sultan menentang aturan protokoler baru ciptaan
Daendels mengenai alat kebesaran Residen Belanda, pada saat menghadap sultan
misalnya hanya menggunakan payung dan tak perlu membuka topi, perselisihan
antara Hamengkubuwana II dengan susuhunan surakarta tentang batas daerah
kekuasaan juga mengakibatkan Daendels memaksa Hamengkubuwono II turun takhta
pada tahun 1810 dan untuk selanjutnya bertahta secara terputus-putus hingga
tahun 1828 yaitu akhir 1811 ketika Inggris menginjakkan kaki di jawa
(Indonesia) sampai pertengahan 1812 ketika tentara Inggris menyerbu keraton Yogyakarta
dan 1826 untuk meredam
perlawanan Diponegoro sampai 1828. Hamengkubuwono III, Hamengkubuwono IV dan
Hamengkubuwono V sempat bertahta saat masa hidupnyaSri Sultan Hamengku Buwono
II.
Saat menjadi putra mahkota
beliau mengusulkan untuk dibangun benteng kraton untuk menahan seragan tentara
inggris. Tahun 1812 Raffles menyerbu Yogyakarta dan menangkap Sultan Sepuh yang
kemudian diasingkan di Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon
3.
Sultan Hamengku Buwono III
Hamengkubuwana III (1769 –
3 November 1814) adalah putra dari Hamengkubuwana II (Sultan Sepuh).
Hamengkubuwana III memegang kekuasaan pada tahun 1810. Setahun kemudian ketika
Pemerintah Belanda digantikan Pemerintah Inggris di bawah pimpinan Letnan
Gubernur Raffles, Sultan Hamengkubuwana III turun tahta dan kerajaan dipimpin
oleh Sultan Sepuh (Hamengkubuwana II) kembali selama satu tahun (1812). Pada
masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana III keraton Yogyakarta mengalami
kemunduran yang besar-besaran. Kemunduran-kemunduran tersebut antara lain :
1. Kerajaan Ngayogyakarta
diharuskan melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan
kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setahunnya.
2. Angkatan perang kerajaan diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan
keraton.
3. Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo
yang berjasa kepada Raffles dan diangkat menjadi Pangeran Adipati Ario Paku
Alam I.
Pada tahun 1814
Hamengkubuwana III mangkat dalam usia 43 tahun
4.
Sultan Hamengku Buwono IV
Hamengkubuwono
IV (3 April 1804 – 6 Desember 1822) sewaktu kecil bernama BRM Ibnu Jarot,
diangkat sebagai raja pada usia 10 tahun, karenanya dalam memerintah didampingi
wali yaitu Paku Alam I hingga tahun 1820. Pada masa pemerintahannya
diberlakukan sistem sewa tanah untuk swasta tetapi justru merugikan rakyat.
Pada tahun 1822 beliau wafat pada saat bertamasya sehingga diberi gelar Sultan
Seda Ing Pesiyar (Sultan yang meninggal pada saat berpesiar).
5.
Sultan Hamengku Buwono V
Hamengkubuwono V (25 Januari
1820 – 1826 dan 1828 – 4 Juni 1855) bernama kecil Raden Mas Menol dan
dinobatkan sebagai raja di kesultanan Yogyakarta dalam usia 3 tahun. Dalam
memerintah beliau dibantu dewan perwalian yang antara lain beranggotakan
Pangeran Diponegoro sampai tahun 1836. Dalam masa pemerintahannya sempat
terjadi peristiwa penting yaitu Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang
berlangsung 1825 – 1830.
Setelah perang selesai
angkatan bersenjata Kesultanan Yogyakarta semakin diperkecil lagi sehingga
jumlahnya menjadi sama dengan sekarang ini. Selain itu angkatan bersenjata juga
mengalami demiliterisasi dimana jumlah serta macam senjata dan personil serta
perlengkapan lain diatur oleh Gubernur Jenderal Belanda untuk mencegah
terulangnya perlawanan kepada Belanda seperti waktu yang lalu.
Beliau mangkat pada tahun 1855 tanpa meninggalkan putra yang dapat
menggantikannya dan tahta diserahkan pada adiknya.
6.
Sultan Hamengku Buwono VI
7.
Sultan Hamengku Buwono VII
Nama aslinya adalah Raden
Mas Murtejo, putra Hamengkubuwono VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839.
Ia naik takhta menggantikan ayahnya sejak tahun 1877.
Pada masa pemerintahan
Hamengkubuwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya
berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya
untuk menerima dana sebesar Rp 200.000,00. Hal ini mengakibatkan Sultan sangat
kaya sehingga sering dijuluki Sultan Sugih.
Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di
Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya
belajar hingga ke negeri Belanda.
Pada tanggal 29 Januari 1920 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia lebih
dari 80 tahun memutuskan untuk turun tahta dan mengangkat putra mahkota sebagai
penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena
putera mahkota (GRM. Akhadiyat) yang seharusnya menggantikan tiba-tiba
meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya.
Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak
setuju dengan putera Mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu
menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia.
Biasanya dalam pergantian tahta raja kepada putera mahkota ialah menunggu
sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena
pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih
hidup, bahkan menurut cerita masa lalu sang ayah diasingkan oleh anaknya
pengganti putera mahkota yang wafat ke Keraton di luar keraton Yogyakarta.
Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di
dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah
menguasai kondisi di dalam pemerintahan kerajaan. Setelah turun tahta,
Hamengkubuwono VII pernah mengatakan “Tidak pernah ada Raja yang mati di
keraton setelah saya” yang artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua
raja setelah dirinya yang meninggal di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII
meninggal dunia di tengah perjalanan di luar kota dan Hamengkubuwono IX
meninggal di Amerika Serikat. Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika
seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di
keraton pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Imogiri.
Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada
Belanda untuk madeg pandito (menjadi pertapa) di Pesanggrahan Ngambarukmo
(sekarang Ambarukmo). Sampai saat ini bekas pesanggrahan itu masih ada dan di
sebelah timurnya dulu pernah berdiri Hotel Ambarukmo yang sekarang sudah tidak
ada lagi.
8.
Sultan Hamengku Buwono VIII
Sri Sultan Hamengkubuwono
VIII (Kraton Yogyakarta Adiningrat, 3 Maret 1880 – Kraton Yogyakarta
Adiningrat, 22 Oktober 1939) adalah salah seorang raja yang pernah memimpin di
Kesultanan Yogyakarta. Dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta pada tanngal 8
Februari 1921. Pada masa Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai
banyak dana yang dipakai untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai sekolah-sekolah
kesultanan.
Putra-putra Hamengkubuwono
VIII banyak disekolahkan hingga perguruan tinggi, banyak diantaranya di
Belanda. Salah satunya adalah GRM Dorojatun, yang kelak bertahta dengan gelar
Hamengkubuwono IX, yang bersekolah di Universitas Leiden.
Pada masa pemerintahannya,
beliau banyak mengadakan rehabilitasi bangunan kompleks keraton Yogyakarta.
Salah satunya adalah bangsal Pagelaran yang terletak di paling depan sendiri
(berada tepat di selatan Alun-alun utara Yogyakarta). Bangunan lainnya yang
rehabilitasi adalah tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe.
Beliau meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di RS Panti Rapih Yogyakarta
karena menderita sakit.
9.
Sultan Hamengku Buwono IX
Sri Sultan Hamengkubuwono
IX (Yogyakarta, 12 April 1912-Washington, DC, AS, 1 Oktober 1988) adalah salah
seorang raja yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta. Beliau juga Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara
tahun 1973-1978. Beliau juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan
pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Lahir di Yogyakarta dengan
nama GRM Dorojatun, Hamengkubuwono IX adalah putra dari Sri Sultan
Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Diumur 4 tahun Hamengkubuwono IX
tinggal pisah dari keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta,
MULO di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930-an beliau berkuliah di
Universiteit Leiden, Belanda (”Sultan Henkie”).
Hamengkubuwono IX
dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar
“Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing
Alogo Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping
Songo”. Beliau merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda
dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain
itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status khusus bagi
Yogyakarta dengan predikat “Istimewa”.
Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang
dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah
Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau diangkat sebagai wakil
presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, beliau menolak untuk
dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada
rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak
menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan
hanyut pada KKN.
Minggu malam pada 1 Oktober 1988 ia wafat di George Washington University
Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram
di Imogiri.
10.
Sultan Hamengku Buwono X
Sri Sultan Hamengkubuwono X
(Kraton Yogyakarta Hadiningrat, 2 April 1946 – sekarang) adalah salah seorang
raja yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta sejak 1998. Hamengkubuwono X lahir dengan nama BRM Herjuno Darpito.
Setelah dewasa bergelar
KGPH Mangkubumi dan setelah diangkat sebagai putra mahkota diberi gelar KGPAA
Hamengku Negara Sudibyo Rajaputra Nalendra ing Mataram. Hamengkubuwono X adalah
seorang lulusan Fakultas Hukum UGM dan dinobatkan sebagai raja pada tanggal 7
Maret 1989 (Selasa Wage 19 Rajab 1921) dengan gelar resmi Sampeyan Dalem
ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwono Senapati ing Alogo
Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Dasa.
Hamengkubuwono X aktif
dalam berbagai organisasi dan pernah memegang berbagai jabatan diantaranya
adalah ketua umum Kadinda DIY, ketua DPD Golkar DIY, ketua KONI DIY, Dirut PT
Punokawan yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, Presiden Komisaris PG
Madukismo, dan pada bulan Juli 1996 diangkat sebagai Ketua Tim Ahli Gubernur
DIY.Setelah Paku Alam VIII wafat, dan melalui beberapa perdebatan, pada 1998
beliau ditetapkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan masa
jabatan 1998-2003.
Dalam masa jabatan ini
Hamengkubuwono X tidak didampingi Wakil Gubernur. Pada tahun 2003 beliau
ditetapkan lagi, setelah terjadi beberapa pro-kontra, sebagai Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta untuk masa jabatan 2003-2008. Kali ini beliau didampingi
Wakil Gubernur yaitu Paku Alam IX.Sejak menggantikan ayahnya, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX yang meninggal di Amerika, 8 Oktober 1988, Ngersa Dalem,
demikian ia biasa disapa, dikenal sebagai sosok yang dekat dengan rakyatnya.
Dalam suatu kesempatan, ia
pernah mengatakan, keberpihakan pada rakyat itu tetap harus dilakukan sebagai
suatu panggilan. “Saya harus membentuk jati diri untuk tumbuh dan mengembangkan
wawasan untuk keberpihakan itu sendiri sebagai suatu kewajiban yang harus
dilakukan. Selain itu, masyarakat juga agar mengetahui setiap gerak langkah
saya dalam membentuk jati diri, dan rakyat diberi kesempatan untuk melihat
bener atau tidak, mampu atau tidak, sependapat atau tidak, dan sebagainya”,
ujuarnya.
Keberpihakannya pada rakyat ini memang terbukti. Pada 14 Mei 1998, ketika
gelombang demontrasi mahasiswa semakin membesar, Sultan mengatakan, “Saya siap
turun ke jalan”. Ia benar-benar tampil dan berpidato di berbagai tempat
menyuarakan pembelaan pada rakyat, sambil berpesan “Jogja harus menjadi pelopor
gerakan reformasi secara damai, tanpa kekerasan”.Aksi turun ke jalan yang
dilakukan Sri Sultan HB X itu bukan tanpa alasan. “Jika pemimpin tidak benar,
kewajiban saya untuk mengingatkan. Karena memang kebangetan (keterlaluan), ya
tak pasani sesasi tenan (ya saya puasai sebulan penuh)”, katanya.
Puasa itu dimulai 19 April
dan berakhir 19 Mei 1998 saat Sri Sultan HB X dan Sri Paku Alam VIII tampil
bersama menyuarakan “Maklumat Yogyakarta”, yang mendukung gerakan reformasi
total dan damai. Itu yang dia sebut ngelakoni. Pada akhir puasa, ia mengaku
mendapat isyarat kultural “Soeharto jatuh, manakala omah tawon sekembaran dirubung laron sak
pirang-pirang” (sepasang sarang tawon dikerumuni kelekatu dalam jumlah sangat
banyak).
“Bukan maksud saya mengabaikan peran mahasiswa. Saya hanya mendukung
gerakan itu dengan laku kultural. Itu maksud saya”. Memang, sehari setelah
banjir massa yang jumlahnya sering disebut lebih dari sejuta manusia di
Alun-alun Utara Jogjakarta—mengikuti Aksi Reformasi Damai dengan mengerumuni
sepasang berigin berpagar (ringin kurung)—Soeharto pun lengser.
Sri Sultan HB X dengan Keraton Jogjakarta-nya memang fenomenal.
Kedekatannya dengan rakyat, dan karena itu juga kepercayaan rakyat terhadapnya,
telah menjadi ciri khas yang mewarisi hingga kini. Lihat saja, misalnya, pada
20 Mei 1998, di bawah reksa Sultan, aparat keamanan berani melepas mahasiswa ke
alun-alun utara. Sebelum itu hampir setiap hari mahasiswa bersitegang melawan
aparat keamanan untuk keluar dari kampus.
Di pagi hari yang cerah di hari peringatan Kebangkitan Nasional 1998 itu,
mahasiswa berbaris dengan amat tertib menyuarakan “mantra” sakti reformasi
menuju Alun-alun Utara. Mereka pergi untuk mendengarkan maklumat yang akan
dibacakan sebagai semacam pernyataan politik Sri Sultan.
Di era reformasi, bersama Gus Dur, Megawati dan Amien Rais, Sultan Hamengku
Buwono X menjadi tokoh yang selalu diperhitungkan. Legitimasi mereka berempat
sebagai tokoh-tokoh yang dipercaya rakyat bahkan melebihi legitimasi yang
dimiliki lembaga formal seperti DPR.
Mereka berempat adalah deklarator Ciganjur, yang lahir justru ketika MPR
sedang melakukan bersidang. Mereka berempat, plus Nurcholis Madjid dan beberapa
tokoh nasional lain, diundang Pangab Jenderal TNI Wiranto untuk ikut
mengupayakan keselamatan bangsa, setelah pristiwa kerusuhan di Ambon.Pada masa
kepemimpinannya, Yogyakarta mengalami gempa bumi yang terjadi pada bulan Mei
2006 dengan skala 5,9 sampai dengan 6,2 Skala Richter yang menewaskan lebih
dari 6000 orang dan melukai puluhan ribu orang lainnya.
Pada peringatan hari ulang tahunnya yang ke-61 di Pagelaran Keraton 7 April
2007, ia menegaskan tekadnya untuk tidak lagi menjabat setelah periode
jabatannya 2003-2008 berakhir. Dalam pisowanan agung yang dihadiri sekitar
40.000 warga, ia mengaku akan mulai berkiprah di kancah nasional. Ia akan
menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk kepentingan bangsa dan negara.
Demikian yang bisa saya share kali ini mudah mudahan bisa menjadi wawasan bagi kita semua amin,,,,,,,semoga bermanfaat
Tag :
Sejarah
0 Komentar untuk "Silsilah Lengkap Raja-raja Ngayogyakarta Hadiningrat"